BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Indonesia
sebenarnya negara yang kaya akan sumber daya mineral dan bahan galian, akan
tetapi kekayaan yang dimiliki negara kita ini tidak berdampak positif bagi
rakyatnya. Sebaliknya, kekayaan tersebut justru menimbulkan kesengsaraan bagi
masyarakat, terutama kalangan menengah bawah.
Pasal
33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ironisnya, rakyat kita justru sengsara.
Pengolahan bahan tambang mencemari lingkungan, harga BBM meningkat karena kita
harus mengimpor BBM, dan berbagai permasalahan lainnya.
Nilai
jual hasil tambang Indonesia yang sangat besar, seharusnya menjadi sumber devisa
negara untuk menjalankan roda perekonomian nasional agar tercipta kesejahteraan
bagi seluruh rakyat Indonesia. Program kerja harus memenuhi kesejahteraan lahir
dan batin masyarakat. Bentuk program kerja untuk kesejahteraan lahir misalnya :
membangun infrastruktur ekonomi seperti jembatan, pelabuhan, jalan raya, dan
lain-lain. Sedangkan untuk kesejahteraan batin meliputi pembangunan sarana
pendidikan, mengadakan jaminan sosial, membenahi fasilitas kesehatan, dan
sebagainya.
Secara
nalar, berdasarkan data hasil produksi bahan tambang di Indonesia, seharusnya
bangsa kita sudah menjadi salah satu raksasa perekonomian dunia. Kenyataannya,
kekayaan alam kita yang melimpah ini justru menguntungkan negara lain selaku
operator pertambangan, sebaliknya, sebagai contoh, keuntungan yang diperoleh
pemerintah dari usaha PT. Freeport hanya
sekitar 10% saja dari total keuntungan yang didapat. Akibatnya, APBN kita masih
defisit dan harus meminjam dari pihak ketiga untuk menutup defisit anggaran
tersebut.
B. Rumusan
Masalah
1.
Apa saja
faktor penyebab pengawasan pemerintah lemah?
2.
Bagaimana
dampaknya bagi masyarakat?
3.
Bagaimana
langkah-langkah untuk mengatasinya?
C. Tujuan
Tujuan penulisan
makalah ini adalah untuk :
1. Mendeskripsikan
faktor penyebab permasalahan tersebut.
2. Menjelaskan
dampak permasalahan terhadap masyarakat.
3. Memberikan
solusi penyelesaian atas permasalahan tersebut.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Lemahnya
Pemerintah Terhadap Investor
Bangsa
Indonesia telah mengalami pasang surut kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam
aspek politik maupun ekonomi. Bila pada masa pemerintahan Orde Lama, bangsa
Indonesia didorong untuk benar-benar mampu mandiri dan bersifat protektif
terhadap pengaruh asing. Seiring berjalannya waktu, hal tersebut berbanding
terbalik dengan pemerintahan Orde Baru yang berdasarkan pada konsep integrasi
nasional yang mantap untuk mendukung proses pembangunan ekonomi.
Salah
satu penggerak perekonomian pada masa Orde Baru yaitu kebijakan membuka
kerjasama dengan pihak asing, sehingga akhirnya banyak investasi asing yang
masuk ke Indonesia. Kebijakan yang pertama kali diluncurkan adalah UU No.1
Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing. Atas dasar peraturan inilah investasi
asing, termasuk di bidang pertambangan
masuk ke Indonesia, misalnya PT. Freeport, yang melakukan eksploitasi
bahan galian tembaga di Tembaga Pura, Papua.
Dari
pengamatan penulis, faktor mengapa pemerintah kita seakan tak berdaya
menghadapi para pengusaha tambang, disebabkan karena terdapat
kesalahan-kesalahan dalam mengelola sumber daya mineral dan pertambangan yang
ada di Indonesia. Kesalahan tersebut bersifat kompleks dan sistematis, maksudnya,
berawal dari peraturan yang dibuat dalam melaksanakan kegiatan pertambangan
selama ini. Kesalahan-kesalahan tersebut menjadi suatu kesatuan yang utuh,
sehingga berakibat tidak hanya kerugian negara atas penerimaan hasil tambang
yang terlalu kecil, namun juga berdampak pada masyarakat, khususnya masyarakat
sekitar lokasi eksplorasi. Secara umum, kesalahan-kesalahan tersebut antara
lain :
1. Ketidakpahaman
pemerintah atas pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tentang hak negara untuk menguasai
sumber daya alam.
2. Landasan
hukum yang dijadikan dasar pelaksanaan kegiatan pertambangan, yaitu UU No.11
Tahun 1967, tidak berpihak kepada rakyat.
3. Sifat
mementingkan diri sendiri dari pelaku pertambangan maupun dari oknum pemerintah
sendiri.
Di
sisi lain, pemerintah seperti tidak memiliki kekuatan apapun terhadap pelaku
usaha pertambangan yang “nakal”, bahkan cenderung mengalah pada kepentingan
investor. Kecenderungan tersebut bisa kita amati dari berbagai fakta yang ada,
seperti :
1. Pemerintah
selalu kalah dalam bernegosiasi dengan para investor, sehingga berdampak pada
kecilnya keuntungan yang didapat oleh negara.
2. Terdapat
beberapa kebijakan yang justru menguntungkan investor, seperti keringanan
pajak, bebas bea masuk barang, dan lain-lain.
3. Kebebasan
operator dalam mengekspor tambang dalam bentuk bijih, bukan produk olahan.
Bukti
bahwa pemerintah kita selalu kalah dalam bernegosiasi dengan pihak investor
adalah, kita tentu masih ingat dengan kasus Blok Cepu, yang menjadi sengketa
antara Pertamina-Exxon, dan Indonesia-Amerika Serikat. Exxon begitu ngotot untuk
memegang kendali operasional di wilayah bercadangan migas sekitar 445 juta
barel (hanya dari 1 lapangan, Lapangan Banyu Urip) itu, mengutip data Kementerian ESDM tahun 2014.
Bahkan
Exxon tak sendirian, Exxon turut mengikutsertakan pemerintah Amerika Serikat
untuk menekan dan melobi pemerintah Indonesia agar menyerahkan pengelolaan Blok
Cepu kepada mereka. Rangkaian negosiasi antara AS dan pemerintah nyatanya
selalu diikuti dengan lahirnya langkah-langkah baru, misalnya KKS (Kontrak
Kerja Sama) Blok Cepu yang lahir pada 17 September 2005, beberapa hari setelah
adanya komunikasi antara presiden kedua negara di New York. Presiden SBY bahkan
disebutkan memimpin rapat kabinet langsung dari New York melalui video conference
untuk memastikan segera dilakukannya pengesahan kontrak Blok Cepu. Selain
beberapa faktor penyebab yang telah disebutkan sebelumnya, masih terdapat
kendala-kendala lain yang memungkinkan menyebabkan kurangnya pengawasan
pemerintah atas usaha pertambangan, khususnya yang berada dan di bawah kendali
pemerintah daerah. Kendala-kendala tersebut antara lain :
Ø Kurangnya
pemahaman pemimpin daerah akan kegiatan pertambangan.
Ø Penyalahgunaan
wewenang.
Kedua
kemungkinan tersebut akan menyebabkan pengelolaan pertambangan di daerah banyak
memunculkan masalah, mulai dari tumpang tindih antara konsesi izin yang satu
dengan konsesi izin yang lain, sengketa hak atas tanah, dan berbagai
permasalahan lain. Hal-hal yang menonjol
dalam kekisruhan pengelolaan pertambangan khususnya di daerah antara lain
adalah :
1. Pencabutan
izin terdahulu oleh kepala daerah tanpa dasar yang jelas.
2. Adanya
izin “balas jasa politik”, berupa pemberian izin pengelolaan sebagai imbalan
menjadi tim sukses dalam pilkada.
3. Penerbitan
izin tanpa memerhatikan tata guna lahan.
4. Penerbitan
IUP Operasi Produksi tanpa didukung data teknis yang memadai.
Karena
banyaknya permasalahan yang ada, maka pemerintah, dalam hal ini Kementerian
Energi dan Sumber Daya Mineral membuat kebijakan wajib sertifikasi Clear and Clear atau C and C izin
pertambangan yang telah diterbitkan oleh kepala daerah.
B. Dampak
yang Dirasakan Masyarakat
Indonesia
merupakan negeri yang kaya raya. Bangsa ini kaya akan hasil sumber daya
alamnya, baik sumber daya hayati maupun non-hayati. Sumber daya alam non-hayati
contohnya antara lain mineral, batu bara, minyak bumi, logam, dan lain-lain.
Setiap pulau di Indonesia mengandung kekayaan alam tersebut. Beberapa komoditas
seperti emas, intan, dan timah bahkan telah ditambang dan diperdagangkan di
pasar internasional sejak dahulu.
Setelah
era Orde Baru, persoalan pertambangan seolah
menjadi magnet bagi pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya alam untuk
kepentingan daerah bersangkutan. Memang, tambang menjadi motor pembangunan
dengan berbagai keuntungan. Pembangunan infrastruktur kota, penyerapan tenaga
kerja. Bahkan oleh pemerintah pusat, tambang menjadi kebanggaan nasional,
seperti Freeport yang dianggap sebagai jendela untuk meningkatkan kesejahteraan
dan mengubah masyarakat Papua. Namun, apakah benar demikian? Pertambangan juga
berdampak pada munculnya permasalahan sosial. Mulai dari munculnya pola perilaku
masyarakat yang semakin konsumtif, kriminal dan tindakan asusila, tumpang
tindih regulasi pertambangan di tingkat lokal, konflik lahan pertambangan
antara perusahaan, masyarakat lokal dan pemerintah sampai pada munculnya
mafia-mafia dalam dunia pertambangan, baik ditingkat lokal maupun nasional.
Keadaan ini diperparah dengan degradasi lingkungan yang semakin parah sehingga
mengancam keberlangsungan sektor ekonomi lain. Pembukaan daerah-daerah tambang
baru di atas tanah rakyat, tanah ulayat, dan hutan-hutan pada akhirnya
mengancam ekosistem lingkungan hidup.
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pasal (1) menyatakan,
“mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan
kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan
rakyat”. Dari bunyi pasal tersebut, idealnya masyarakat berhak merasakan hasil
dari pengolahan tambang yang ada di Indonesia, sesuai dengan pasal 33 UUD 1945.
Rakyat sudah selayaknya mendapatkan kesejahteraan dari hasil sumber daya alam
yang melimpah di Indonesia.
Sebagai
kekayaan alam yang dikuasai negara, pengelolaan tambang di Indonesia dijalankan
oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Hal ini sesuai
dengan UU No.4 Tahun 2009 pasal (2), “Penguasaan mineral dan batubara oleh
negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah
dan/atau pemerintah daerah”.
Desentralisasi
yang diwujudkan dalam otonomi daerah memberi ruang kepada pemerintah daerah
untuk mengelola sumber daya alam secara otonom, sehingga memunculkan
liberalisasi dalam sektor pertambangan. Daerah-daerah dengan sumber daya
tambang menjadi daya tarik bagi penambang dan investor pertambangan sehingga menimbulkan
permasalahan sosial, salah satunya konflik antara masyarakat lokal dengan
perusahaan tambang. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa pada
kenyataannya pengelolaan tambang di Indonesia belum berdampak positif bagi
masyarakat, justru malah menyengsarakan rakyat. Kita tentu masih ingat dengan
kasus PT. Newmont Minahasa Raya, yang bermasalah dengan masyarakat Teluk Buyat,
karena limbah pengolahan emas PT. Newmont Minahasa Raya dibuang dan mengendap
di perairan Teluk Buyat sehingga mengakibatkan masyarakat sekitar teluk
terjangkit berbagai macam penyakit.
Selain
kasus PT. Newmont, ada perusahaan tambang internasional yang juga bermasalah,
yaitu PT. Freeport Indonesia. PT. Freeport telah beroperasi selama setengah
abad di tanah Papua, namun apakah yang diberikan Freeport untuk rakyat Papua? hampir
tidak ada. Freeport malah mengadu domba masyarakat dengan aparat keamanan seperti
TNI dan POLRI dan bersikap represif terhadap mereka dengan alasan mengganggu
kepentingan nasional. Di Sidoarjo ada PT. Lapindo Jaya, yang karena
kelalaiannya berdampak luar biasa bagi warga Kecamatan Porong dan Tanggulangin,
yang sampai saat ini belum ada langkah nyata dari pemerintah untuk menjamin
ganti rugi kepada warga yang berada di peta terdampak banjir lumpur meskipun MK
telah menetapkan bahwa ganti rugi dibebankan kepada Lapindo dan dijamin
pemerintah.
Beberapa
dampak yang dirasakan oleh masyarakat tersebut sama sekali tidak mencerminkan
cita-cita pasal 33 UUD 1945 berupa kesejahteraan rakyat. Rakyat justru dibuat
susah dengan adanya perusahaan tambang di daerah mereka. Meskipun UU Minerba yang
baru lebih baik daripada UU No.11 Tahun 1967, nyatanya masih terdapat kelemahan
yang merugikan masyarakat, terutama yang tinggal di daerah. Undang-Undang No.4
Tahun 2009 menyatakan bahwa Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk tambang mineral
akan dikeluarkan jika luas lahan minimal 5000 hektar, sebagaimana tercantum
dalam pasal 52 ayat (1). Hal ini tentu sangat merugikan masyarakat yang tinggal
di daerah dengan luas lahan terbatas, karena otomastis mereka akan terkena pembebasan
lahan. Selain itu, bagi pemegang IUP maupun IUPK, diberi kelonggaran untuk
menggunakan fasilitasnya sendiri. Kita tentu tahu bahwa di dalam operasional
tambang, sudah pasti menggunakan alat berat. Hal ini akan berdampak negatif
bagi fasilitas umum sekitarnya, misalnya jalan rusak. Seharusnya ada regulasi
yang bijak dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini. Belum lagi
mengenai sanksi pidana yang diancamkan apabila menghalangi kegiatan
pertambangan, dalam pasal 162 UU No.4 Tahun 2009 menyatakan bahwa barangsiapa
yang menghalangi kegiatan pertambangan diancam pidana kurungan paling lama 1
tahun atau denda maksimal 100 juta rupiah, tentu saja ini sangat menekan
kebebasan rakyat menyuarakan hak-haknya yang terampas oleh kegiatan
penambangan, padahal itu lingkungan mereka sendiri.
Satjipto
Rahardjo mengatakan bahwa hukum atau aturan dibuat untuk kesejahteraan dan
kebahagiaan rakyat. Seharusnya rakyat Indonesia bisa merasakan tujuan dari
dibuatnya hukum. Namun masyarakat tidak sejahtera dan bahagia bila hukum hanya
melindungi dan memberi keleluasaan individu tanpa memperhatikan kebahagiaan
masyarakat (2008: 11).
C. Strategi
Mengatasi Polemik Pertambangan
Indonesia
adalah negara hukum. Segala aspek kehidupan bernegara harus sesuai dengan hukum
yang berlaku. Sebagai penganut welvaarstaat
atau negara kesejahteraan, sudah selayaknya negara bertujuan untuk
kesejahteraan rakyatnya.
Dengan
berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, paling tidak bisa meunculkan
secercah harapan bagi kita. Peraturan tersebut berusaha memperbaiki sistem
pengelolaan tambang yang sebelumnya berdasarkan pada UU No.11 Tahun 1967,
seperti perubahan sistem kerjasama, yang semula berupa kontrak menjadi
berbentuk izin. Bentuk kerjasama kontrak
dan ijin mempunyai perbedaan yang mendasar, baik terhadap pelaku kerjasama,
prosedur, ketentuan, pembatasan dan syarat-syarat, maupun akibat hukumnya.
Contoh
perbedaannya yaitu jika pada pola kontrak, perjanjian dilakukan oleh dua pihak
(pemerintah dan investor) dan mereka mempunyai kedudukan yang sejajar. Dan
apabila terjadi sengketa biasanya akan diselesaikan melalui arbitrase. Sedangkan
pola izin, seolah-olah yang lebih berperan adalah Pemerintah. Jadi pemerintah
berkedudukan lebih tinggi.
Pasal
79 huruf (u) UU No.4 Tahun 2009 menyatakan, “Penerapan kaidah keekonomian dan
keteknikan pertambangan yang baik”. Dengan tercantumnya ketentuan teknik
pertambangan yang baik, merupakan suatu kemajuan dan menjadi landasan hukum
bagi pemerintah dalam melakukan pengawasan dan pengendalian usaha pertambangan.
Agar ketentuan ini dapat berjalan dengan baik, maka perlu adanya integrasi dengan aspek-aspek lainnya, seperti
aspek lingkungan, ketenagakerjaan, keselamatan kerja, dan kepentingan negara.
Selain
itu, untuk mewujudkan konsep pertambangan yang baik, pemberdayaan masyarakat,
seperti yang tercantum dalam pasal 78 huruf (j) UU No.4 Tahun 2009, merupakan
salah satu upaya untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat yang merupakan
wilayah tugas dan fungsi dari negara. Pemberdayaan masyarakat harus berdimensi ke
depan, dalam rangka mempersiapkan masyarakat menjadi mandiri yang dapat
mengembangkan wilayahnya. Bentuk program bisa berupa antara lain :
Ø Pembinaan
dan pengembangan sumber daya manusia.
Ø Pengembangan
perekonomian.
Ø Perbaikan
layanan kesehatan.
Selain
konsep teknik pertambangan yang baik, upaya untuk memperbaiki sistem
pengelolaan pertambangan juga harus diikuti penegakkan hukum yang terkait
dengan kegiatan pertambangan. Dalam hal ini, penegakkan hukum dapat dibagi
menjadi tiga jenis, yaitu administrasi negara, perdata, dan pidana. Menurut
Nandang Sudrajat (2009: 201), penegakkan hukum dalam kegiatan pertambangan
memang lebih rumit dibandingkan penegakkan hukum lainnya, karena dalam
penerapannya, usaha pertambangan melibatkan banyak sumber hukum lain, seperti
hukum lingkungan yang menjadi kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup, oleh
karena itu perlu koordinasi yang baik antara instansi terkait.
Apabila
ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH, kegiatan
usaha pertambangan juga harus mampu menjamin perlindungan dan pengelolaan
lingkungan, seperti yang tercantum dalam Pasal 3 : Perlindungan dan pengelolaan
lingkungan hidup bertujuan:
a. melindungi
wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan
hidup;
b. menjamin keselamatan, kesehatan, dan
kehidupan manusia;
c. menjamin kelangsungan kehidupan makhluk
hidup dan kelestarian ekosistem;
d. menjaga kelestarian fungsi lingkungan
hidup;
e. mencapai keserasian, keselarasan, dan
keseimbangan lingkungan hidup;
f. menjamin terpenuhinya keadilan generasi
masa kini dan generasi masa depan;
g. menjamin pemenuhan dan perlindungan hak
ata lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h. mengendalikan pemanfaatan sumber daya
alam secara bijaksana;
i.
mewujudkan
pembangunan berkelanjutan; dan
j.
mengantisipasi
isu lingkungan global.
Dalam
ranah hukum administrasi negara, penegakkan hukum berbentuk pengawasan dan
pengendalian suatu tindakan. Seperti yang diatur dalam pasal 39, 78, dan 79
tentang IUP dan IUPK. Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam IUP maupun IUPK
merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan bagi pemegang IUP maupun IUPK, dan
bila melakukan pelanggaran, maka pejabat yang mengeluarkan izin berhak memberi
sanksi.
Hal
ini berarti bahwa pihak utama dalam penegakkan hukum administrasi adalah
pejabat yang berwenang. Penegakkan hukum
administratif ini bertujuan agar tindakan yang melanggar hukum dan tidak sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan bisa segera dihentikan.
Simpul
penegakkan hukum administrasi negara adalah
objek perbuatannya, dan wewenang menekan penerima izin untuk mematuhi
ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan berlakunya UU Minerba, maka
sistem pengelolaan tambang di Indonesia juga berubah dari sistem kontrak
menjadi sistem perizinan. Menurut Sjachran Basah (Ridwan, 2006:207), izin
adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan
peraturan dalam hal konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana
ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.
Fungsi
administrasi dijalankan oleh kekuasaan eksekutif. Maka dalam hal ini, perizinan
juga dikeluarkan oleh pemerintah melalui badan yang berwenang. Oleh sebab itu,
pejabat yang berwenang dalam memberi izin kepada suatu perusahaan untuk
melakukan kegiatan pertambangan, harus memperhatikan unsur-unsur perizinan,
antara lain :
a. Instrumen
yuridis
b. Peraturan
perundang-undangan
c. Organ
pemerintah
d. Peristiwa
konkret
e. Posedur
dan persyaratan
Sebagai suatu
instrumen, izin berfungsi sebagai ujung tombak instrumen hukum sebagai
pengarah, perekayasa, dan perancang masyarakat adil dan makmur, demikian
menurut Ridwan (2006: 218).
Pemerintah melalui
badan terkait harus mampu menginterpretasikan maksud dari peizinan tersebut.
Hal ini agar terwujud masyarakat yang adil dan makmur, seperti yang diamanatkan
dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Jadi perizinan harus dilaksanakan
dengan sebaik-baiknya. Ridwan berpendapat bahwa izin tidak berbeda dengan ketetapan
pada umumnya (2006: 223). Dalam pembuatan, penerbitan, dan pencabutan harus
sesuai dengan syarat-syarat yang berlaku, dan harus memenuhi syarat formal dan
material.
Dalam penyelenggaraan
usaha pertambangan, pemerintah berwenang dalam hal pembinaan dan pengawasan
yang dalam hal ini oleh Menteri ESDM. Kewenangan pemerintah diatur dalam pasal
139 UU No.4 Tahun 2009. Kewenangan tersebut antara lain :
1. Pemberian
pedoman dan standar pelaksanaan pengelolaan usaha pertambangan;
2. Pemberian
bimbingan, supervisi, dan konsultasi;
3. Pendidikan
dan pelatihan; dan
4. Perencanaan,
penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan
usaha pertambangan di bidang mineral dan batubara.
Sedangkan
kewenangan pemerintah dalam hal pengawasan, diatur dalam pasal 140 UU No.4
Tahun 2009, yaitu :
1. Menteri
melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan
yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai
dengan kewenangannya.
2. Menteri
dapat melimpahkan kepada gubernur untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan
kewenangan pengelolaan di bidang usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
3. Menteri,
gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan
atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP,
IPR, atau IUPK.
Bentuk pengawasan tersebut apabila ditinjau dari
sisi objeknya dapat dibagi menjadi dua macam pengawasan, yaitu :
1. Pengawasan
vertikal, yaitu menteri mengawasi gubernur, bupati/wali kota sebagai
penanggungjawab di daerah.
2. Pengawasan
fungsional, yaitu menteri, gubernur, dan bupati/wali kota mengawasi pelaku
usaha pertambangan.
Penegakkan hukum selanjutnya ditinjau dari segi
perdata. Di dalam konteks sengketa keperdataan, pada umumnya terdapat dua
kecenderungan, antara lain :
1. Masyarakat
selaku pemilik lahan cenderung menjadi korban.
2. Pengusaha
pertambangan cenderung memilih menggunakan jalur perdata, karena meskipun
sengketa sedang diproses di pengadilan, mereka masih bisa melakukan kegiatan
usaha pertambangan.
Gugatan
perdata atas usaha pertambangan yang merugikan masyarakat mendapat legitimasi
hukum sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 145 ayat (1) UU No.4 Tahun 2009,
yang menegaskan bahwa masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari
kegiatan usaha pertambangan berhak :
1. Memperoleh
ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan
sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2. Mengajukan
gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan
yang menyalahi ketentuan.
Dalam UU No.4 Tahun 2009, juga memuat tentang sanksi
pidana dalam pertambangan minerba.
Ketentuan sanksi pidana tersebut diatur dalam pasal 158 sampai dengan pasal
165. Pasal-pasal tersebut memuat dua macam sanksi pidana, yaitu kurungan dan
penjara dan diikuti pidana denda. Sanksi pidana dalam UU Pertambangan Mineral
dan Batu Bara tidak hanya memuat sanksi
pidana bagi yang memelanggar ketentuan yang telah ditetapkan, tetapi juga bagi
yang menghalangi kegiatan usaha, serta bagi pejabat yang menyalahgunakan
wewenang dalam bidang pertambangan.
Dengan berlakunya UU Minerba menggantikan UU No.11
Tahun 1967, tidak serta merta membawa perubahan yang signifikan di sektor
pertambangan nasional. Hal ini karena hukum itu tidak hanya apa yang tertulis
di dalam perundang-undangan, tetapi hukum itu penerapannya secara nyata. Budaya
hukum di Indonesia masih sangat lemah, bukan hanya oleh kalangan pejabat,
tetapi juga di kalangan masyarakat sendiri, melanggar aturan adalah hal biasa.
Jika kita berharap perubahan yang lebih baik, tidak
hanya dalam aspek pertambangan saja melainkan seluruh aspek kehidupan bangsa,
alangkah baiknya bila kita mulai dari diri sendiri. Kita biasakan untuk
mematuhi peraturan-peraturan yang ada meskipun terkesan sepele, seperti aturan
dalam berlalu lintas. Mengapa kita juga harus introspeksi diri? Karena para
pejabat yang berwenang dulunya juga sama seperti kita. Saat ini banyak oknum
pemerintah yang menyalahgunakan wewenang karena saat mereka masih menjadi
rakyat biasa, melanggar aturan itu sudah menjadi kebiasaan, selain tergiur
dengan keuntungan yang akan didapat.
Penegakan hukum juga perlu diperbaiki. Memang kita
telah memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan, namun itu tentu tidak
cukup bila kita bicara mengenai penegakan hukum. Budaya hukum masyarakat dan
pemerintah juga perlu dibenahi. Perbaikan peraturan perundang-undangan memang
perlu untuk membenahi carut-marutnya pengelolaan tambang di Indonesia, tapi itu
bukan satu-satunya cara.
Perbaikan mental pejabat, pendidikan moral, belajar
memahami persoalan administrasi negara, serta
adanya keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian rakyat
adalah langkah yang tepat menurut penulis untuk mengatasi persoalan yang telah
disebutkan sebelumnya. Jadi, sebelum menjadi orang yang memiliki wewenang di
suatu bidang tertentu, seorang pejabat harus menguasai terlebih dahulu seluk
beluk persoalan di bidang yang akan menjadi wewenangnya, agar tidak terjadi
penyalahgunaan jabatan.
BAB
III
PENUTUP
A. Simpulan
:
1. Faktor
mengapa pemerintah kita seakan tak berdaya menghadapi para pengusaha tambang,
disebabkan karena terdapat kesalahan-kesalahan dalam mengelola sumber daya
mineral dan pertambangan yang ada di Indonesia. Kesalahan-kesalahan tersebut
meliputi :
a. Ketidakpahaman
pemerintah atas pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tentang hak negara untuk menguasai
sumber daya alam.
b. Kurangnya
pemahaman pejabat berwenang dalam hal kegiatan pertambangan
c. Penyalahgunaan
kekuasaan
2. Lemahnya
pengawasan pemerintah tersebut berdampak merugikan bagi masyarakat,
dampak-dampak tersebut antara lain :
Ø Kerusakan
lingkungan tempat tinggal.
Ø Konflik
sosial.
Ø Perekonomian
masyarakat tidak mengalami perbaikan meskipun daerahnya kaya sumber daya alam.
3. Untuk
mengatasi permasalahan tersebut, solusi yang mungkin dapat diambil untuk
menyelesikannya adalah :
a. Penegakkan
aturan sesuai ketentuan Pasal 33 UUD 1945.
b. Perbaikan
kualitas pejabat berwenang.
c. Koordinasi
yang baik antar instansi yang terkait dalam kegiatan usaha pertambangan.
B. Saran
:
1. Pemerintah
melalui Kementerian ESDM sebaiknya lebih tegas menghadapi para investor
pertambangan, agar cita-cita Pasal 33 UUD 1945 bisa tercapai.
2. Pemerintah
melalui Kementerian PAN-RB sebaiknya lebih selektif lagi dalam memilih pejabat
berwenang agar birokrasi kita tidak terus-menerus dibodohi investor tambang.
3. Masyarakat
harus berani melapor bila merasa dirugikan pengusaha tambang.
DAFTAR
PUSTAKA
Batubara, Marwan.
(2010). Tambang Emas Freeport: Kekayaan
Negara yang Terampas (1).
http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/tambang-emas-freeport-kekayaan-negara-yang-terampas.htm.
Diakses pada 4 April 2014.
H.R., Ridwan.
(2006). Hukum Administrasi Negara.
Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Rahardjo,
Satjipto. (2008). Membedah Hukum
Progresif. Jakarta : Kompas.
Sudrajat,
Nandang. (2013). Teori dan Prektik
Pertambangan Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Yustisia.
Sutedi, Adrian.
(2012). Hukum Pertambangan. Jakarta :
Sinar Grafika.
Undang-Undang
Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup