Sabtu, 25 Oktober 2014

Analisis Sengketa Tanah antara Warga Darmakradenan dengan PT. Rumpun Sari Antan

Saat ini terjadi sengketa pemilikan bekas tanah perkebunan Belanda (kebun kakao) antara warga Darmakradenan Kecamatan Ajibarang Banyumas dengan P.T Rumpun Sari Antan selaku pemegang HGU (Hak Guna Usaha).

Adapun riwayat tanahnya adalah sebagai berikut:

1.Menurut warga Darmakradenan, tanah tersebut merupakan hak milik warga dan pada tahun 1890 disewa oleh Pengusaha Belanda.

2.Menurut catatan Kantor Pertanahan Kabupaten Banyumas, tanah tersebut semula berstatus Goverments Grond(tanah Negara). Pada tahun 1892 diberikan hak erpacht selama 75 tahun kepada pengusaha Belanda bernama Jan Albertus van Der Roeft. Terjadi beberapa kali peralihan, sampai hak itu dikonversi menjadi HGU. Sejak tahun 1967 menjadi tanah Negara. Pada tahun 1971, Pemerintah memberikan HGU kepada P.T Rumpun Darmakradenan. Pada tahun 1994 HGU menjadi atas nama P.T Rumpun Sari Antan.

Jelaskan siapakah yang sebenarnya berhak atas tanah perkebunan kakao tersebut!


ANALISIS
Dalam kasus petani di Darmakradenan ini, memang cukup rumit jika tidak menelusuri sejarah hukum pertanahan di Indonesia. Dalam hal ini, pertama kita lihat dulu sejarah hukum pertanahan di Indonesia ketika zaman Kolonial Belanda. Ketika masa penjajahan Belanda, hukum tanah yang berlaku adalah Agrarische Wet 1870, yang menjadi dasar hukum kepemilikan tanah para pengusaha khususnya di bidang perkebunan. Dalam pasal 51 ayat 4 disebutkan bahwa tanah dapat diberikan hak erfpacht selama 75 tahun.
Dalam pasal yang sama, di ayat 5 disebutkan bahwa pemberian tanah tidak boleh melanggar hak-hak pribumi. Namun, dalam perkembangannya, pemerintah Belanda membuat peraturan yang disebut Agrarische Besluit (AB) atau Domein Verklaring sebagai pengaturan lanjut atas AW. Dalam pasal 1 AB dikatakan bahwa tanah yang pihak lain tidak bisa membuktikan sebagai eigendomnya, maka tanah tersebut menjadi milik negara. Hal ini sama saja bohong, karena tanah rakyat saat itu dimiliki secara adat yang tidak ada pengaturannya dalam hukum pemerintah, dan meskipun dalam pasal 51 ayat 5 AW dikatakan bahwa tidak boleh melanggar hak-hak rakyat pribumi, tetapi tanah tersebut tetap menjadi milik negara.
Setelah 75 tahun hak erfpacht diberikan, maka tanah dikembalikan kepada negara, yaitu tahun 1967. Tanah dikembalikan kepada negara karena di Indonesia pernah berlaku Domein Verklaring, akibatnya, secara perdata tanah tersebut kembali menjadi milik negara, meskipun telah berlaku UUPA sejak tahun 1960. Negara berhak menguasai tanah dan memberikan HAT kepada pihak yang dikehendaki. Pada tahun 1971, diberikan HGU kepada PT. Rumpun Darmakradenan selama 25 tahun, artinya HGU berakhir pada tahun 1996, dan pada 1994 perusahaan berganti nama menjadi PT. Rumpun Sari Antan.
Menurut saya, secara hukum tanah tersebut sah milik negara, sehingga negara bebas memberikan HGU kepada pihak manapun. Namun, negara tetap tidak boleh mengesampingkan hak-hak warga Darmakradenan. Dalam pasal 3 UUPA, terkandung asas hak ulayat. Hak ulayat  adalah hak masyarakat hukum adat atas lingkungan tanah wilayahnya, yang memberi wewenang kepada penguasa adat untuk mengatur dan memimpin penggunaan tanah. Selain asas hak ulayat, ada juga asas hak menguasai negara (pasal 2 UUPA). Wewenang tersebut menjadi dasar bagi pemerintah selaku penyelenggara negara untuk mengatur dan menyelesaikan masalah-masalah di bidang pertanahan. Dalam pasal 2 ayat (3) UUPA tujuan hak ini adalah untuk kemakmuran rakyat. Dalam pasal 6 UUPA terdapat asas fungsi sosial, yang menyatakan bahwa hak atas tanah oleh suatu pihak, tidak boleh merugikan pihak lain, dalam hal ini masyarakat Darmakradenan. Pemilik HGU harus memerhatikan kepentingan warga setempat sehingga bermanfaat bagi kesejahteraan warga.
Jadi, meskipun dikuasai oleh negara, sudah selayaknya negara juga memerhatikan hak dan kepentingan warga Darmakradenan, asalkan tidak bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hak menguasai inipun dapat dilimpahkan kepada pemda maupun masyarakat [pasal 2 ayat(4)].

Kesimpulan :
Berdasarkan analisa saya menurut politik pertanahan nasional, baik era penjajah Belanda maupun era UUPA, tanah tersebut sah menjadi milik negara. Akan tetapi, negara selaku pemilik dan penguasa tanah, sebaiknya pemerintah memerhatikan asas hak ulayat dan asas hak menguasai negara, yang mana dalam asas hak ulayat, eksistensi masyarakat adat diakui oleh negara, dan masyarakat Darmakradenan pun masih memegang adatnya. Hak menguasai negara atas tanah bertujuan untuk kemakmuran rakyat, serta dalam pasal 2 ayat (4) UUPA hak menguasai dapat dilimpahkan kepada pemda maupun masyarakat. Pasal tersebut kiranya bisa menjadi dasar bagi negara untuk memberikan hak penguasaan tanah kepada warga Darmakradenan, dengan tidak memberikan HGU kembali kepada perusahaan setelah habis masa HGU 25 tahun PT. Rumpun Sari Antan.

Sabtu, 18 Oktober 2014

Lemahnya Pengawasan Pemerintah Dalam Kegiatan Pertambangan

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Indonesia sebenarnya negara yang kaya akan sumber daya mineral dan bahan galian, akan tetapi kekayaan yang dimiliki negara kita ini tidak berdampak positif bagi rakyatnya. Sebaliknya, kekayaan tersebut justru menimbulkan kesengsaraan bagi masyarakat, terutama kalangan menengah bawah.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ironisnya, rakyat kita justru sengsara. Pengolahan bahan tambang mencemari lingkungan, harga BBM meningkat karena kita harus mengimpor BBM, dan berbagai permasalahan lainnya.
Nilai jual hasil tambang Indonesia yang sangat besar, seharusnya menjadi sumber devisa negara untuk menjalankan roda perekonomian nasional agar tercipta kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia. Program kerja harus memenuhi kesejahteraan lahir dan batin masyarakat. Bentuk program kerja untuk kesejahteraan lahir misalnya : membangun infrastruktur ekonomi seperti jembatan, pelabuhan, jalan raya, dan lain-lain. Sedangkan untuk kesejahteraan batin meliputi pembangunan sarana pendidikan, mengadakan jaminan sosial, membenahi fasilitas kesehatan, dan sebagainya.
Secara nalar, berdasarkan data hasil produksi bahan tambang di Indonesia, seharusnya bangsa kita sudah menjadi salah satu raksasa perekonomian dunia. Kenyataannya, kekayaan alam kita yang melimpah ini justru menguntungkan negara lain selaku operator pertambangan, sebaliknya, sebagai contoh, keuntungan yang diperoleh pemerintah dari usaha PT. Freeport  hanya sekitar 10% saja dari total keuntungan yang didapat. Akibatnya, APBN kita masih defisit dan harus meminjam dari pihak ketiga untuk menutup defisit anggaran tersebut.

B.     Rumusan Masalah
1.    Apa saja faktor penyebab pengawasan pemerintah lemah?
2.    Bagaimana dampaknya bagi masyarakat?
3.    Bagaimana langkah-langkah untuk mengatasinya?

C.     Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk :
1.      Mendeskripsikan faktor penyebab permasalahan tersebut.
2.      Menjelaskan dampak permasalahan terhadap masyarakat.
3.      Memberikan solusi penyelesaian atas permasalahan tersebut.


BAB II
PEMBAHASAN
A.    Lemahnya Pemerintah Terhadap Investor
Bangsa Indonesia telah mengalami pasang surut kehidupan berbangsa dan bernegara, baik dalam aspek politik maupun ekonomi. Bila pada masa pemerintahan Orde Lama, bangsa Indonesia didorong untuk benar-benar mampu mandiri dan bersifat protektif terhadap pengaruh asing. Seiring berjalannya waktu, hal tersebut berbanding terbalik dengan pemerintahan Orde Baru yang berdasarkan pada konsep integrasi nasional yang mantap untuk mendukung proses pembangunan ekonomi.
Salah satu penggerak perekonomian pada masa Orde Baru yaitu kebijakan membuka kerjasama dengan pihak asing, sehingga akhirnya banyak investasi asing yang masuk ke Indonesia. Kebijakan yang pertama kali diluncurkan adalah UU No.1 Tahun 1967 Tentang Penanaman Modal Asing. Atas dasar peraturan inilah investasi asing, termasuk di bidang pertambangan  masuk ke Indonesia, misalnya PT. Freeport, yang melakukan eksploitasi bahan galian tembaga di Tembaga Pura, Papua.
Dari pengamatan penulis, faktor mengapa pemerintah kita seakan tak berdaya menghadapi para pengusaha tambang, disebabkan karena terdapat kesalahan-kesalahan dalam mengelola sumber daya mineral dan pertambangan yang ada di Indonesia. Kesalahan tersebut bersifat kompleks dan sistematis, maksudnya, berawal dari peraturan yang dibuat dalam melaksanakan kegiatan pertambangan selama ini. Kesalahan-kesalahan tersebut menjadi suatu kesatuan yang utuh, sehingga berakibat tidak hanya kerugian negara atas penerimaan hasil tambang yang terlalu kecil, namun juga berdampak pada masyarakat, khususnya masyarakat sekitar lokasi eksplorasi. Secara umum, kesalahan-kesalahan tersebut antara lain :
1.      Ketidakpahaman pemerintah atas pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tentang hak negara untuk menguasai sumber daya alam.
2.      Landasan hukum yang dijadikan dasar pelaksanaan kegiatan pertambangan, yaitu UU No.11 Tahun 1967, tidak berpihak kepada rakyat.
3.      Sifat mementingkan diri sendiri dari pelaku pertambangan maupun dari oknum pemerintah sendiri.
Di sisi lain, pemerintah seperti tidak memiliki kekuatan apapun terhadap pelaku usaha pertambangan yang “nakal”, bahkan cenderung mengalah pada kepentingan investor. Kecenderungan tersebut bisa kita amati dari berbagai fakta yang ada, seperti :
1.      Pemerintah selalu kalah dalam bernegosiasi dengan para investor, sehingga berdampak pada kecilnya keuntungan yang didapat oleh negara.
2.      Terdapat beberapa kebijakan yang justru menguntungkan investor, seperti keringanan pajak, bebas bea masuk barang, dan lain-lain.
3.      Kebebasan operator dalam mengekspor tambang dalam bentuk bijih, bukan produk olahan.
Bukti bahwa pemerintah kita selalu kalah dalam bernegosiasi dengan pihak investor adalah, kita tentu masih ingat dengan kasus Blok Cepu, yang menjadi sengketa antara Pertamina-Exxon, dan Indonesia-Amerika Serikat. Exxon begitu ngotot untuk memegang kendali operasional di wilayah bercadangan migas sekitar 445 juta barel (hanya dari 1 lapangan, Lapangan Banyu Urip)  itu, mengutip data Kementerian ESDM tahun 2014.
Bahkan Exxon tak sendirian, Exxon turut mengikutsertakan pemerintah Amerika Serikat untuk menekan dan melobi pemerintah Indonesia agar menyerahkan pengelolaan Blok Cepu kepada mereka. Rangkaian negosiasi antara AS dan pemerintah nyatanya selalu diikuti dengan lahirnya langkah-langkah baru, misalnya KKS (Kontrak Kerja Sama) Blok Cepu yang lahir pada 17 September 2005, beberapa hari setelah adanya komunikasi antara presiden kedua negara di New York. Presiden SBY bahkan disebutkan memimpin rapat kabinet langsung dari New York melalui video conference untuk memastikan segera dilakukannya pengesahan kontrak Blok Cepu. Selain beberapa faktor penyebab yang telah disebutkan sebelumnya, masih terdapat kendala-kendala lain yang memungkinkan menyebabkan kurangnya pengawasan pemerintah atas usaha pertambangan, khususnya yang berada dan di bawah kendali pemerintah daerah. Kendala-kendala tersebut antara lain :
Ø  Kurangnya pemahaman pemimpin daerah akan kegiatan pertambangan.
Ø  Penyalahgunaan wewenang.
Kedua kemungkinan tersebut akan menyebabkan pengelolaan pertambangan di daerah banyak memunculkan masalah, mulai dari tumpang tindih antara konsesi izin yang satu dengan konsesi izin yang lain, sengketa hak atas tanah, dan berbagai permasalahan lain. Hal-hal yang  menonjol dalam kekisruhan pengelolaan pertambangan khususnya di daerah antara lain adalah :
1.      Pencabutan izin terdahulu oleh kepala daerah tanpa dasar yang jelas.
2.      Adanya izin “balas jasa politik”, berupa pemberian izin pengelolaan sebagai imbalan menjadi tim sukses dalam pilkada.
3.      Penerbitan izin tanpa memerhatikan tata guna lahan.
4.      Penerbitan IUP Operasi Produksi tanpa didukung data teknis yang memadai.
Karena banyaknya permasalahan yang ada, maka pemerintah, dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral membuat kebijakan wajib sertifikasi Clear and Clear atau C and C izin pertambangan yang telah diterbitkan oleh kepala daerah.

B.     Dampak yang Dirasakan Masyarakat
Indonesia merupakan negeri yang kaya raya. Bangsa ini kaya akan hasil sumber daya alamnya, baik sumber daya hayati maupun non-hayati. Sumber daya alam non-hayati contohnya antara lain mineral, batu bara, minyak bumi, logam, dan lain-lain. Setiap pulau di Indonesia mengandung kekayaan alam tersebut. Beberapa komoditas seperti emas, intan, dan timah bahkan telah ditambang dan diperdagangkan di pasar internasional sejak dahulu.
Setelah era Orde Baru,  persoalan pertambangan seolah menjadi magnet bagi pemerintah daerah dalam mengelola sumber daya alam untuk kepentingan daerah bersangkutan. Memang, tambang menjadi motor pembangunan dengan berbagai keuntungan. Pembangunan infrastruktur kota, penyerapan tenaga kerja. Bahkan oleh pemerintah pusat, tambang menjadi kebanggaan nasional, seperti Freeport yang dianggap sebagai jendela untuk meningkatkan kesejahteraan dan mengubah masyarakat Papua. Namun, apakah benar demikian? Pertambangan juga berdampak pada munculnya permasalahan sosial. Mulai dari munculnya pola perilaku masyarakat yang semakin konsumtif, kriminal dan tindakan asusila, tumpang tindih regulasi pertambangan di tingkat lokal, konflik lahan pertambangan antara perusahaan, masyarakat lokal dan pemerintah sampai pada munculnya mafia-mafia dalam dunia pertambangan, baik ditingkat lokal maupun nasional. Keadaan ini diperparah dengan degradasi lingkungan yang semakin parah sehingga mengancam keberlangsungan sektor ekonomi lain. Pembukaan daerah-daerah tambang baru di atas tanah rakyat, tanah ulayat, dan hutan-hutan pada akhirnya mengancam ekosistem lingkungan hidup.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara pasal (1) menyatakan, “mineral dan batubara sebagai sumber daya alam yang tak terbarukan merupakan kekayaan nasional yang dikuasai oleh negara untuk sebesar-besar kesejahteraan rakyat”. Dari bunyi pasal tersebut, idealnya masyarakat berhak merasakan hasil dari pengolahan tambang yang ada di Indonesia, sesuai dengan pasal 33 UUD 1945. Rakyat sudah selayaknya mendapatkan kesejahteraan dari hasil sumber daya alam yang melimpah di Indonesia.
Sebagai kekayaan alam yang dikuasai negara, pengelolaan tambang di Indonesia dijalankan oleh pemerintah, baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Hal ini sesuai dengan UU No.4 Tahun 2009 pasal (2), “Penguasaan mineral dan batubara oleh negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah dan/atau pemerintah daerah”.
Desentralisasi yang diwujudkan dalam otonomi daerah memberi ruang kepada pemerintah daerah untuk mengelola sumber daya alam secara otonom, sehingga memunculkan liberalisasi dalam sektor pertambangan. Daerah-daerah dengan sumber daya tambang menjadi daya tarik bagi penambang dan investor pertambangan sehingga menimbulkan permasalahan sosial, salah satunya konflik antara masyarakat lokal dengan perusahaan tambang. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, bahwa pada kenyataannya pengelolaan tambang di Indonesia belum berdampak positif bagi masyarakat, justru malah menyengsarakan rakyat. Kita tentu masih ingat dengan kasus PT. Newmont Minahasa Raya, yang bermasalah dengan masyarakat Teluk Buyat, karena limbah pengolahan emas PT. Newmont Minahasa Raya dibuang dan mengendap di perairan Teluk Buyat sehingga mengakibatkan masyarakat sekitar teluk terjangkit berbagai macam penyakit.
Selain kasus PT. Newmont, ada perusahaan tambang internasional yang juga bermasalah, yaitu PT. Freeport Indonesia. PT. Freeport telah beroperasi selama setengah abad di tanah Papua, namun apakah yang diberikan Freeport untuk rakyat Papua? hampir tidak ada. Freeport malah mengadu domba masyarakat dengan aparat keamanan seperti TNI dan POLRI dan bersikap represif terhadap mereka dengan alasan mengganggu kepentingan nasional. Di Sidoarjo ada PT. Lapindo Jaya, yang karena kelalaiannya berdampak luar biasa bagi warga Kecamatan Porong dan Tanggulangin, yang sampai saat ini belum ada langkah nyata dari pemerintah untuk menjamin ganti rugi kepada warga yang berada di peta terdampak banjir lumpur meskipun MK telah menetapkan bahwa ganti rugi dibebankan kepada Lapindo dan dijamin pemerintah.
Beberapa dampak yang dirasakan oleh masyarakat tersebut sama sekali tidak mencerminkan cita-cita pasal 33 UUD 1945 berupa kesejahteraan rakyat. Rakyat justru dibuat susah dengan adanya perusahaan tambang di daerah mereka. Meskipun UU Minerba yang baru lebih baik daripada UU No.11 Tahun 1967, nyatanya masih terdapat kelemahan yang merugikan masyarakat, terutama yang tinggal di daerah. Undang-Undang No.4 Tahun 2009 menyatakan bahwa Izin Usaha Pertambangan (IUP) untuk tambang mineral akan dikeluarkan jika luas lahan minimal 5000 hektar, sebagaimana tercantum dalam pasal 52 ayat (1). Hal ini tentu sangat merugikan masyarakat yang tinggal di daerah dengan luas lahan terbatas, karena otomastis mereka akan terkena pembebasan lahan. Selain itu, bagi pemegang IUP maupun IUPK, diberi kelonggaran untuk menggunakan fasilitasnya sendiri. Kita tentu tahu bahwa di dalam operasional tambang, sudah pasti menggunakan alat berat. Hal ini akan berdampak negatif bagi fasilitas umum sekitarnya, misalnya jalan rusak. Seharusnya ada regulasi yang bijak dari pemerintah untuk mengatasi permasalahan ini. Belum lagi mengenai sanksi pidana yang diancamkan apabila menghalangi kegiatan pertambangan, dalam pasal 162 UU No.4 Tahun 2009 menyatakan bahwa barangsiapa yang menghalangi kegiatan pertambangan diancam pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda maksimal 100 juta rupiah, tentu saja ini sangat menekan kebebasan rakyat menyuarakan hak-haknya yang terampas oleh kegiatan penambangan, padahal itu lingkungan mereka sendiri.
Satjipto Rahardjo mengatakan bahwa hukum atau aturan dibuat untuk kesejahteraan dan kebahagiaan rakyat. Seharusnya rakyat Indonesia bisa merasakan tujuan dari dibuatnya hukum. Namun masyarakat tidak sejahtera dan bahagia bila hukum hanya melindungi dan memberi keleluasaan individu tanpa memperhatikan kebahagiaan masyarakat (2008: 11).

C.     Strategi Mengatasi Polemik Pertambangan
Indonesia adalah negara hukum. Segala aspek kehidupan bernegara harus sesuai dengan hukum yang berlaku. Sebagai penganut welvaarstaat atau negara kesejahteraan, sudah selayaknya negara bertujuan untuk kesejahteraan rakyatnya.
Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009, paling tidak bisa meunculkan secercah harapan bagi kita. Peraturan tersebut berusaha memperbaiki sistem pengelolaan tambang yang sebelumnya berdasarkan pada UU No.11 Tahun 1967, seperti perubahan sistem kerjasama, yang semula berupa kontrak menjadi berbentuk izin.  Bentuk kerjasama kontrak dan ijin mempunyai perbedaan yang mendasar, baik terhadap pelaku kerjasama, prosedur, ketentuan, pembatasan dan syarat-syarat, maupun akibat hukumnya.
Contoh perbedaannya yaitu jika pada pola kontrak, perjanjian dilakukan oleh dua pihak (pemerintah dan investor) dan mereka mempunyai kedudukan yang sejajar. Dan apabila terjadi sengketa biasanya akan diselesaikan melalui arbitrase. Sedangkan pola izin, seolah-olah yang lebih berperan adalah Pemerintah. Jadi pemerintah berkedudukan lebih tinggi.
Pasal 79 huruf (u) UU No.4 Tahun 2009 menyatakan, “Penerapan kaidah keekonomian dan keteknikan pertambangan yang baik”. Dengan tercantumnya ketentuan teknik pertambangan yang baik, merupakan suatu kemajuan dan menjadi landasan hukum bagi pemerintah dalam melakukan pengawasan dan pengendalian usaha pertambangan. Agar ketentuan ini dapat berjalan dengan baik, maka perlu adanya  integrasi dengan aspek-aspek lainnya, seperti aspek lingkungan, ketenagakerjaan, keselamatan kerja, dan kepentingan negara.
Selain itu, untuk mewujudkan konsep pertambangan yang baik, pemberdayaan masyarakat, seperti yang tercantum dalam pasal 78 huruf (j) UU No.4 Tahun 2009, merupakan salah satu upaya untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat yang merupakan wilayah tugas dan fungsi dari negara. Pemberdayaan masyarakat harus berdimensi ke depan, dalam rangka mempersiapkan masyarakat menjadi mandiri yang dapat mengembangkan wilayahnya. Bentuk program bisa berupa antara lain :
Ø  Pembinaan dan pengembangan sumber daya manusia.
Ø  Pengembangan perekonomian.
Ø  Perbaikan layanan kesehatan.
Selain konsep teknik pertambangan yang baik, upaya untuk memperbaiki sistem pengelolaan pertambangan juga harus diikuti penegakkan hukum yang terkait dengan kegiatan pertambangan. Dalam hal ini, penegakkan hukum dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu administrasi negara, perdata, dan pidana. Menurut Nandang Sudrajat (2009: 201), penegakkan hukum dalam kegiatan pertambangan memang lebih rumit dibandingkan penegakkan hukum lainnya, karena dalam penerapannya, usaha pertambangan melibatkan banyak sumber hukum lain, seperti hukum lingkungan yang menjadi kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup, oleh karena itu perlu koordinasi yang baik antara instansi terkait.
Apabila ditinjau berdasarkan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang PPLH, kegiatan usaha pertambangan juga harus mampu menjamin perlindungan dan pengelolaan lingkungan, seperti yang tercantum dalam Pasal 3 : Perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup bertujuan:
a.       melindungi wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dari pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup;
b.      menjamin keselamatan, kesehatan, dan kehidupan manusia;
c.       menjamin kelangsungan kehidupan makhluk hidup dan kelestarian ekosistem;
d.      menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup;
e.       mencapai keserasian, keselarasan, dan keseimbangan lingkungan hidup;
f.       menjamin terpenuhinya keadilan generasi masa kini dan generasi masa depan;
g.      menjamin pemenuhan dan perlindungan hak ata lingkungan hidup sebagai bagian dari hak asasi manusia;
h.      mengendalikan pemanfaatan sumber daya alam secara bijaksana;
i.        mewujudkan pembangunan berkelanjutan; dan
j.        mengantisipasi isu lingkungan global.
Dalam ranah hukum administrasi negara, penegakkan hukum berbentuk pengawasan dan pengendalian suatu tindakan. Seperti yang diatur dalam pasal 39, 78, dan 79 tentang IUP dan IUPK. Ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam IUP maupun IUPK merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan bagi pemegang IUP maupun IUPK, dan bila melakukan pelanggaran, maka pejabat yang mengeluarkan izin berhak memberi sanksi.
Hal ini berarti bahwa pihak utama dalam penegakkan hukum administrasi adalah pejabat yang berwenang.  Penegakkan hukum administratif ini bertujuan agar tindakan yang melanggar hukum dan tidak sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan bisa segera dihentikan.
Simpul penegakkan  hukum administrasi negara adalah objek perbuatannya, dan wewenang menekan penerima izin untuk mematuhi ketentuan-ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan berlakunya UU Minerba, maka sistem pengelolaan tambang di Indonesia juga berubah dari sistem kontrak menjadi sistem perizinan. Menurut Sjachran Basah (Ridwan, 2006:207), izin adalah perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan dalam hal konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh ketentuan peraturan perundang-undangan.  
Fungsi administrasi dijalankan oleh kekuasaan eksekutif. Maka dalam hal ini, perizinan juga dikeluarkan oleh pemerintah melalui badan yang berwenang. Oleh sebab itu, pejabat yang berwenang dalam memberi izin kepada suatu perusahaan untuk melakukan kegiatan pertambangan, harus memperhatikan unsur-unsur perizinan, antara lain :
a.       Instrumen yuridis
b.      Peraturan perundang-undangan
c.       Organ pemerintah
d.      Peristiwa konkret
e.       Posedur dan persyaratan
Sebagai suatu instrumen, izin berfungsi sebagai ujung tombak instrumen hukum sebagai pengarah, perekayasa, dan perancang masyarakat adil dan makmur, demikian menurut Ridwan (2006: 218).
Pemerintah melalui badan terkait harus mampu menginterpretasikan maksud dari peizinan tersebut. Hal ini agar terwujud masyarakat yang adil dan makmur, seperti yang diamanatkan dalam alinea keempat Pembukaan UUD 1945. Jadi perizinan harus dilaksanakan dengan sebaik-baiknya. Ridwan berpendapat bahwa izin tidak berbeda dengan ketetapan pada umumnya (2006: 223). Dalam pembuatan, penerbitan, dan pencabutan harus sesuai dengan syarat-syarat yang berlaku, dan harus memenuhi syarat formal dan material.  
Dalam penyelenggaraan usaha pertambangan, pemerintah berwenang dalam hal pembinaan dan pengawasan yang dalam hal ini oleh Menteri ESDM. Kewenangan pemerintah diatur dalam pasal 139 UU No.4 Tahun 2009. Kewenangan tersebut antara lain :
1.      Pemberian pedoman dan standar pelaksanaan pengelolaan usaha pertambangan;
2.      Pemberian bimbingan, supervisi, dan konsultasi;
3.      Pendidikan dan pelatihan; dan
4.      Perencanaan, penelitian, pengembangan, pemantauan, dan evaluasi pelaksanaan penyelenggaraan usaha pertambangan di bidang mineral dan batubara.
Sedangkan kewenangan pemerintah dalam hal pengawasan, diatur dalam pasal 140 UU No.4 Tahun 2009, yaitu :
1.      Menteri melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan pengelolaan usaha pertambangan yang dilaksanakan oleh pemerintah provinsi dan pemerintah kabupaten/kota sesuai dengan kewenangannya.
2.      Menteri dapat melimpahkan kepada gubernur untuk melakukan pengawasan terhadap penyelenggaraan kewenangan pengelolaan di bidang usaha pertambangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang dilaksanakan oleh pemerintah kabupaten/kota.
3.      Menteri, gubernur, dan bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya melakukan pengawasan atas pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan yang dilakukan oleh pemegang IUP, IPR, atau IUPK.
Bentuk pengawasan tersebut apabila ditinjau dari sisi objeknya dapat dibagi menjadi dua macam pengawasan, yaitu :
1.      Pengawasan vertikal, yaitu menteri mengawasi gubernur, bupati/wali kota sebagai penanggungjawab di daerah.
2.      Pengawasan fungsional, yaitu menteri, gubernur, dan bupati/wali kota mengawasi pelaku usaha pertambangan.
Penegakkan hukum selanjutnya ditinjau dari segi perdata. Di dalam konteks sengketa keperdataan, pada umumnya terdapat dua kecenderungan, antara lain :
1.      Masyarakat selaku pemilik lahan cenderung menjadi korban.
2.      Pengusaha pertambangan cenderung memilih menggunakan jalur perdata, karena meskipun sengketa sedang diproses di pengadilan, mereka masih bisa melakukan kegiatan usaha pertambangan.
Gugatan perdata atas usaha pertambangan yang merugikan masyarakat mendapat legitimasi hukum sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 145 ayat (1) UU No.4 Tahun 2009, yang menegaskan bahwa masyarakat yang terkena dampak negatif langsung dari kegiatan usaha pertambangan berhak :
1.      Memperoleh ganti rugi yang layak akibat kesalahan dalam pengusahaan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
2.      Mengajukan gugatan kepada pengadilan terhadap kerugian akibat pengusahaan pertambangan yang menyalahi ketentuan.
Dalam UU No.4 Tahun 2009, juga memuat tentang sanksi pidana dalam  pertambangan minerba. Ketentuan sanksi pidana tersebut diatur dalam pasal 158 sampai dengan pasal 165. Pasal-pasal tersebut memuat dua macam sanksi pidana, yaitu kurungan dan penjara dan diikuti pidana denda. Sanksi pidana dalam UU Pertambangan Mineral dan Batu Bara  tidak hanya memuat sanksi pidana bagi yang memelanggar ketentuan yang telah ditetapkan, tetapi juga bagi yang menghalangi kegiatan usaha, serta bagi pejabat yang menyalahgunakan wewenang dalam bidang pertambangan.
Dengan berlakunya UU Minerba menggantikan UU No.11 Tahun 1967, tidak serta merta membawa perubahan yang signifikan di sektor pertambangan nasional. Hal ini karena hukum itu tidak hanya apa yang tertulis di dalam perundang-undangan, tetapi hukum itu penerapannya secara nyata. Budaya hukum di Indonesia masih sangat lemah, bukan hanya oleh kalangan pejabat, tetapi juga di kalangan masyarakat sendiri, melanggar aturan adalah hal  biasa.
Jika kita berharap perubahan yang lebih baik, tidak hanya dalam aspek pertambangan saja melainkan seluruh aspek kehidupan bangsa, alangkah baiknya bila kita mulai dari diri sendiri. Kita biasakan untuk mematuhi peraturan-peraturan yang ada meskipun terkesan sepele, seperti aturan dalam berlalu lintas. Mengapa kita juga harus introspeksi diri? Karena para pejabat yang berwenang dulunya juga sama seperti kita. Saat ini banyak oknum pemerintah yang menyalahgunakan wewenang karena saat mereka masih menjadi rakyat biasa, melanggar aturan itu sudah menjadi kebiasaan, selain tergiur dengan keuntungan yang akan didapat.
Penegakan hukum juga perlu diperbaiki. Memang kita telah memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan, namun itu tentu tidak cukup bila kita bicara mengenai penegakan hukum. Budaya hukum masyarakat dan pemerintah juga perlu dibenahi. Perbaikan peraturan perundang-undangan memang perlu untuk membenahi carut-marutnya pengelolaan tambang di Indonesia, tapi itu bukan satu-satunya cara.
Perbaikan mental pejabat, pendidikan moral, belajar memahami persoalan administrasi negara, serta  adanya keinginan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kemandirian rakyat adalah langkah yang tepat menurut penulis untuk mengatasi persoalan yang telah disebutkan sebelumnya. Jadi, sebelum menjadi orang yang memiliki wewenang di suatu bidang tertentu, seorang pejabat harus menguasai terlebih dahulu seluk beluk persoalan di bidang yang akan menjadi wewenangnya, agar tidak terjadi penyalahgunaan jabatan.


BAB III
PENUTUP
A.    Simpulan :
1.      Faktor mengapa pemerintah kita seakan tak berdaya menghadapi para pengusaha tambang, disebabkan karena terdapat kesalahan-kesalahan dalam mengelola sumber daya mineral dan pertambangan yang ada di Indonesia. Kesalahan-kesalahan tersebut meliputi :
a.       Ketidakpahaman pemerintah atas pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tentang hak negara untuk menguasai sumber daya alam.
b.      Kurangnya pemahaman pejabat berwenang dalam hal kegiatan pertambangan
c.       Penyalahgunaan kekuasaan
2.      Lemahnya pengawasan pemerintah tersebut berdampak merugikan bagi masyarakat, dampak-dampak tersebut antara lain :
Ø  Kerusakan lingkungan tempat tinggal.
Ø  Konflik sosial.
Ø  Perekonomian masyarakat tidak mengalami perbaikan meskipun daerahnya kaya sumber daya alam.
3.      Untuk mengatasi permasalahan tersebut, solusi yang mungkin dapat diambil untuk menyelesikannya adalah :
a.       Penegakkan aturan sesuai ketentuan Pasal 33 UUD 1945.
b.      Perbaikan kualitas pejabat berwenang.
c.       Koordinasi yang baik antar instansi yang terkait dalam kegiatan usaha pertambangan.
B.     Saran :
1.  Pemerintah melalui Kementerian ESDM sebaiknya lebih tegas menghadapi para investor pertambangan, agar cita-cita Pasal 33 UUD 1945 bisa tercapai.
2.      Pemerintah melalui Kementerian PAN-RB sebaiknya lebih selektif lagi dalam memilih pejabat berwenang agar birokrasi kita tidak terus-menerus dibodohi investor tambang.
3.      Masyarakat harus berani melapor bila merasa dirugikan pengusaha tambang.





DAFTAR PUSTAKA
Bambang. (2010). Cadangan Minyak Blok Cepu 352 Juta Barel. http://www.antaranews.com/berita/168845/cadangan-minyak-blok-cepu-352-juta-barel. Diakses pada 28 April 2014.
Batubara, Marwan. (2010). Tambang Emas Freeport: Kekayaan Negara yang Terampas (1). http://www.eramuslim.com/berita/laporan-khusus/tambang-emas-freeport-kekayaan-negara-yang-terampas.htm. Diakses pada 4 April 2014.
H.R., Ridwan. (2006). Hukum Administrasi Negara. Jakarta: RajaGrafindo Persada.
Rahardjo, Satjipto. (2008). Membedah Hukum Progresif. Jakarta : Kompas.
Sudrajat, Nandang. (2013). Teori dan Prektik Pertambangan Indonesia. Yogyakarta : Pustaka Yustisia.
Sutedi, Adrian. (2012). Hukum Pertambangan. Jakarta : Sinar Grafika.
Tursilowulan. (2014). Wapres Kunjungi Blok Cepu. http://migas.esdm.go.id/berita-kemigasan/detail/3590/Wapres-Kunjungi-Blok-Cepu. Diakses pada 28 April 2014.
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batu Bara.
Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup