Asas-asas dalam
undang-undang Hukum Pidana
Asas-asas
hukum pidana merupakan hal-hal yang mendasari terjadinya suatu perbuatan akan
dikenakan sanksi hukum apabila melanggar ketentuan hukum pidana di manapun ia
keberadaan dan tidak melihat status orang itu berbuat tindak pidana apabila
melanggar ketentuan hukum pidana akan terkena sanksi sesuai dengan sanksi
perbuatannya. Asas-asas hukum pidana ini bersumber dalam bagian Buku I
menyangkut asas-asas hukum pidana dan uraian umum dari ketentuan Pasal 1 sampai
dengan Pasal 8 KUHP.
Asas-asas
dalam hukum pidana antara lain :
Asas Legalitas
Pasal 1 KUHP
1.
Suatu
perbuatan tidak dapat dipidana, kecuali berdasarkan kekuatan
ketentuan-ketentuan perundang-undangan pidana yang telah ada.
2.
Bilamana ada perubahan dalam perundang-undangan sesudah
perbuatan dilakukan, maka terhadap terdakwa diterapkan ketentuan yang paling
menguntungkannya.
Asas Legalitas (nullum delictum nula poena sine praevia lege poenali) terdapat dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. Asas ini
dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach dalam teori : “vom psychologishen zwang
(paksaan psikologis)” dimana adagium nullum delictum nulla poena sine
praevia lege poenali yang mengandung tiga prinsip dasar :
1.
Nulla
poena sine lege (tiada pidana tanpa undang-undang/Asas legalitas/Lex scripta) Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan
pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan
undang-undang. Yang dimaksud dengan UU disini
adalah dalam arti luas, bukan saja yang tertulis yang telah dituangkan
dalam bentuk UU oleh pemerintah dengan DPR tetapi produk lain seperti PerPu,
PP, Keppres,Per/Instruksi menteri, Gubernur dsb. Intinya harus dituangkan
secara tertulis dalam suatu perundang-undangan.
2.
Nulla
Poena sine crimine (tiada pidana tanpa perbuatan
pidana/Asas larangan menggunakan analogi/Lex certa) Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh
digunakan analogi. Artinya perbuatan pidana yang dimaksud harus diuraikan
unsur-unsurnya oleh undang-undang secara jelas dan lengkap.
3.
Nullum
crimen sine poena legali (tiada
perbuatan pidana tanpa undang-undang pidana yang terlebih dulu ada/Asas non-retroaktif). Aturan hukum
pidana tidak berlaku surut. Secara eksplisit tersirat dalam ketentuan KUHP,
dirumuskan dalam Pasal 1 ayat (1).
Pengecualian terhadap asas tidak berlaku
(pasal 1 ayat (2) KUHP) Pemberlakuan hukum pidana yang lebih
menguntungkan dengan keluarnya UU yang lebih baru.
Asas Teritorialitas
Pasal 2 KUHP
Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang melakukan sesuatu tindak pidana di
Indonesia.
Ketentuan pasal diatas menunjukkan bahwa, tindak
pidana yang terjadi di wilayah Indonesia (baik di daratan, lautan maupun udara)
maka akan dikenakan aturan hukum pidana Indonesia baik itu dilakukan oleh warga
Negara atau warga asing.
Pasal
3 KUHP
Ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia berlaku bagi setiap orang yang di luar wilayah
Indonesia melakukan tindak pidana di dalam kendaraan air atau pesawat udara
Indonesia.
Ketentuan pasal
diatas merupakan perluasan dari Asas Teritorialitas Pasal 2 KUHP. Dan
menunjukkan bahwa :
a.
Jika kendaraan/pesawat tersebut berada dilaut lepas
yang berlaku adalah ketentuan pidana Indonesia.
b.
Jika seorang yang berada diatas kendaraan/pesawat
tersebut sedang berlabuh di tempat asing melakukan suatu tindak pidana, oleh
penguasa asing belum dituntut, maka sekembalinya ke Indonesia petindak tersebut
dapat dituntut, tetapi jika sudah selesai secara juridis maka berlaku asas
“nebis in idem”.
c.
Sebaliknya jika ada seseorang asing yang
berlabuh/mendarat kendaraan/pesawat di Indonesia melakukan tindak pidana dapat
dituntut sesuai ketentuan pidana Indonesia.
Asas Perlindungan atau Nasional Pasif
Pasal 4 KUHP
Ketentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi setiap orang yang
melakukan di luar Indonesia :
1. Salah satu kejahatan berdasarkan pasal-pasal
104, 106, 107, 108 dan 131;
2.
Suatu
kejahatan mengenai mata uang atau uang kertas yang dikeluarkan oleh negara atau
bank, ataupun mengenai materai yang dikeluarkan dan merek yang digunakan oleh
Pemerintah Indonesia;
3.
Pemalsuan
surat hutang atau sertifikat hutang atas tanggungan Indonesia, atas tanggungan
suatu daerah atau bagian daerah Indonesia termasuk pula pemalsuan talon, tanda
deviden atau tanda bunga, yang mengikuti surat atau sertifikat itu, dan tanda
yang dikeluarkan sebagai pengganti surat tersebut atau menggunakan surat-surat
tersebut di atas, yang palsu atau dipalsukan, seolah-olah asli dan tidak pals.
4.
Salah satu
kejahatan yang tersebut dalam pasal-pasal 438, 444 sampai dengan 446 tentang
pembajakan laut dan pasal 447 tentang
penyerahan kendaraan air kepada kekuasaan bajak laut dan pasal 479
huruf j tentang penguasaan pesawat udara secara melawan hukum, pasal 479 huruf
l, m, n dan o tentang kejahatan
yang mengancam keselamatan penerbangan sipil.
Ketentuan pasal diatas mengutamakan pada hal-hal
yang berkaitan dengan kepentingan suatu negara, atau dengan kata lain yang
diutamakan adalah keselamatan kepentingan suatu negara. Sehingga asas ini
dinamakan ‘asas perlindungan’ (beschermingsbeginsel). Inti dari pasal di ats
mengenai : Ketentuan Hukum Pidana Indonesia dapat diberlakukan terhadap WNI
maupun WNA baik di dalam maupun di luar wilayah Indonesia untuk melindungi
kepentingan hukum Indonesia, seperti yang disebut Pasal 4 KUHP. Pasal 4 KUHP
adalah jenis kejahatan yang mengancam kepentingan hukum Indonesia yang
mendasar, berupa keamanan, dan keselamatan negara, perekonomian Indonesia,
serta sarana dan prasarana angkutan Indonesia.
Asas
Personalitas atau Nasional Aktif
Pasal KUHP
1.
Ketetentuan
pidana dalam perundang-undangan Indonesia diterapkan bagi warga Negara yang di
luar Indonesia melakukan :
Ke-1 : Salah satu kejahatan yang tersebut dalam Bab I dan Bab II Buku
Kedua dan Pasal-Pasal 160, 161, 240, 279, 450 dan 451.
Ke-2 : Salah satu perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam
perundang-undangan Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut
perundang-undangan Negara dimana perbuatan itu dilakukan diancam dengan pidana.
2.
Penuntutan
perkara sebagaimana dimaksud dalam butir 2 dapat dilakukan juga jika terdakwa
menjadi warga Negara sesudah melakukan perbuatan.
Ketentuan pasal diatas menunjukkan bahwa, bagi warga negara
yang melakukan tindak pidana di luar wilayah Indonesia menyangkut pasal-pasal
yang tertera pada ayat (1) Pasal 5 KUHP, maka pelakunya akan dituntut menurut
aturan hukum pidana Indonesia oleh pengadilan Indonesia. Kepentingan
nasionalnya disini terlihat agar pelaku tindak pidana yang warga negara
Indonesia itu, walaupun peristiwanya terjadi di luar negara Indonesia, tidak diadili
dan dikenakan hukuman dari negara tempat terjadinya peristiwa hukum atau
perbuatan pidana itu dilakukan. Inti dari asas ini, yaitu :
Ø Bergantung atau mengikuti subyek hukum atau orangnya yakni
warga negara di manapun keberadaannya (Nasional Aktif).
Ø Asas
ini tidak dapat diterapkan pada semua tindak pidana.
Ø Diatur dalam Pasal 5 KUHP
dan diperluas Pasal 5 ayat (2), diperlunak
Pasal 6, diatur lebih lanjut dalam Pasal 7 dan Pasal 8 KUHP.
Pasal 6 KUHP
Berlakunya pasal 5 ayat 1 butir 2 dibatasi sedemikian rupa
sehingga tidak dijatuhkan pidana mati, jika menurut perundang-undangan negara
di mana perbuatan dilakukan, terhadapnya tidak diancamkan pidana mati.
Tertonjolkannya asas personalitas dalam pasal 5 dan 6 KUHP,
jelas ditentukan secara tegas bahwa subyeknya adalah warga negara Indonesia.
Perbedaan antara pasal 5 ayat 1 ke-1 dengan
sub ke-2 ialah bahwa tersebut dalam sub ke-1 tidak dipersoalkan apakah
tindakan itu merupakan tindak pidana atau tidak diluar negeri yang
bersangkutan.
Pasal 7
KUHP
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan
Indonesia berlaku bagi setiap pejabat yang di luar Indonesia melakukan
salah-satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam Bab XXVIII Buku Kedua.
Ketentuan pasal diatas memperluas asas personalitas yaitu
walaupun pegawai negeri Indonesia (seseorang yang diangkat oleh penguasa umum
dan ditetapkan untuk melakukan suatu tugas umum yang merupakan sebagian dari
tugas negara atau badan-badan negara) itu pada umumnya berkewarganegaraan
Indonesia, tapi tidak kurang banyaknya yang berkewarganegaraan asing terutama
dikedutaan-kedutaan RI, konsulat RI. Dalam hal ini yang berkewarganegaraan
asing itu lebih diutamakan kepegawaiannya dari pada kewarganegaraannya.
Pasal 8 KUHP
Ketentuan pidana dalam perundang-undangan Indonesia berlaku
bagi nakoda dan penumpang perahu Indonesia, yang di luar Indonesia, sekalipun
di luar perahu melakukan salah satu tindak pidana sebagaimana dimaksudkan dalam
Bab XXIX Buku Kedua, dan Bab IX Buku Ketiga; begitu pula yang tersebut dalam
peraturan mengenai surat laut dan pas kapal Indonesia, maupun dalam Ordonansi
Perkapalan.
Ketentuan pasal diatas berlaku jika
:
a.
Tindak pidana diatas perahu
b.
Petindaknya yang telah ditentukan,
yitu nakhoda dan penumpang
c.
Kepentingan “perahu Indonesia” atau
“pelayaran Indonesia” yang harus mendapat perlindungan.
Asas Universalitas
Berlakunya pasal 2-5 dan 8 KUHP
dibatasi oleh pengecualian-pengecualian dalam hukum internasional. Bahwa asas
melindungi kepentingan internasional (asas universal) adalah dilandasi pemikiran
bahwa setiap Negara di dunia wajib turut melaksanakan tata hukum sedunia (hukum
internasional).
Menurut Moeljatno, pada umumnya
pengecualian yang diakui meliputi :
1.
Kepala Negara beserta keluarga dari
Negara sahabat, dimana mereka mempunyai hak eksteritorial. Hukum nasional suatu
Negara tidak berlaku bagi mereka.
2.
Duta besar Negara
asing beserta keluarganya mereka juga mempunyai hak eksteritorial.
3.
Anak buah kapal
perang asing yang berkunjung di suatu Negara, sekalipun ada di luar kapal.
Menurut hukum internasional kapal peran adalah teritoir Negara yang
mempunyainya.
4.
Tentara Negara
asing yang ada di dalam wilayah Negara dengan persetujuan Negara itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar