Siapa Tan
Malaka?
Selama
ini Tan Malaka hanya dikenal sebagai seorang pemikir politik. Padahal seperti
yang dikatakan oleh Sosiolog Robertus Robet, sebagai seorang pemikir Tan Malaka
mempunyai banyak sumbangan di segala bidang, salah satunya bidang pendidikan.
Namun sumbangan pemikiran Tan Malaka di bidang pendidikan tidak pernah diulas
karena banyak peneliti yang hanya fokus pada pemikiran politiknya.
Bagi
Tan Malaka, pengusiran penjajah dari bumi pertiwi belum menyelesaikan problem
bangsa Indonesia. Ada hal lain, yang bagi Tan Malaka sangat krusial untuk
segera dituntaskan, yakni feodalisme dari cara berpikir manusia Indonesia. Oleh
karena itu Tan Malaka yang merupakan lulusan guru dari Belanda, mendirikan
sekolah rakyat sebagai antitesis dari sekolah kolonial Belanda yang menindas.
Tan
Malaka mendirikan sekolah rakyat dengan nama S.I School atau Sekolah Serikat
Islam. Sekolah ini ditujukan kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya bagi
anak-anak pengurus dan aktivis Serikat Islam serta anak-anak kaum kromo.
Belakangan, sekolah ini lebih dikenal dengan nama Sekolah Tan Malaka.
Tan
Malaka dan Semaun (Pimpinan PKI pertama) berharap, sekolah yang mereka dirikan
ini bertujuan untuk menyiapkan calon-calon pemimpin revolusioner masa depan
dengan praktik pendidikan antikolonial. Orang Indonesia harus belajar sebagai
murid yang cerdas, harus bertindak dan berpikir secara rasional.
Awal-awal
pendirian sekolah, meskipun terseok-seok karena biaya yang minim dan
mengandalkan pada derma-derma dari masyarakat dan kerabatnya, sekolah SI tetap
berjalan dengan baik. Bahkan, dalam jangka beberapa bulan saja, Tan Malaka
sudah mendirikan cabang sekolah SI di Salatiga dan Bandung. Meskipun sekolahnya
serba kekurangan, yang menjadi andalan sekolah SI Tan Malaka ialah kebebasan
anak-anak kromo untuk bersekolah dan kultur sekolah yang dekat dengan sifat
serta semangat ketimuran dibandingkan sekolah-sekolah bentukan kolonial.
Meskipun
begitu, Tan Malaka tak melupakan bagaimana prinsip-prinsip yang diajarkan di
sekolah-sekolah Barat, yakni kecakapan untuk hidup di dunia yang semakin maju
seperti pelajaran berhitung, membaca, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda.
Menariknya, di sekolah ini meskipun diajarkan dengan bermacam-macam pelajaran,
guru-gurunya memusingkan soal metode bagaimana harus mengajar. Setiap murid
dibebaskan untuk mencari dan menggunakan metodenya sendiri dalam mengikuti
pelajaran. Keputusan Tan Malaka dalam membebaskan murid-murid serta guru
perihal metode, dikarenakan kepercayaan mereka terhadap kemampuan murid. Murid
bukanlah kertas kosong yang harus dijejali dengan beragam rumus dan metode
penyelesaian masalah, tapi dia harus mengembangkan sendiri rumusannya. Bagi Tan
Malaka, beragam metode akan membuat guru mabuk metode mengajar.
Karena
itu, Tan Malaka dalam menjalankan program sekolahnya hanyalah menekankan tiga
hal, yakni memberi jalan bagi anak-anak untuk mempunyai bekal mata pencaharian,
memberi hak bagi murid untuk menjalani hobi atau kegemarannya dengan wadah
suatu perkumpulan dan terakhir, mengarahkan perhatian kepada murid kalau
nantinya mereka punya pertanggungjawaban terhadap jutaan keluarga kromo.
Tiga
pokok pikiran pendidikan Tan Malaka mempunyai dimensi yang sangat humanis. Ia
menyadari, di dunia kapitalistik yang semakin maju tiap anak manusia harus
mempunyai kecakapan atau skill untuk dapat bertahan hidup. Tapi selanjutnya,
Tan juga tak mau mengabaikan dimensi lain dari anak-anak yang dalam usia
belianya perlu bermain dan bergaul. Ini dimaksudkan agar mereka sudah
mendapatkan kebahagiaannya di periode itu dan berdasarkan pada pemahaman
manusia sebagai makhluk sosial. Sedangkan untuk kepedulian terhadap kaum kromo
atau proletar, ini bisa dikaitkan dengan tanggung jawab intelektual mereka
sebagai kaum terpelajar yang sedang dipraktikkan oleh para bapak bangsa,
seperti Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Sjahrir dan yang lainnya. Hal yang
terakhir menjadi bagian penting dalam pandangan pendidikan Tan Malaka.
Dalam
setiap rapat-rapat umum SI, murid-murid dari sekolah Tan Malaka pasti selalu
datang dan dilibatkan. Mereka langsung bersentuhan dengan realita ketertindasan
kaumnya, dan melihat bagaimana setiap rencana perjuangan dirumuskan.
Harapannya, ketika dewasa, sikap memihak terhadap kaum proletar sudah menjadi
bagian dari hidup mereka. Dimensi ini dapat dilihat sebagai upaya penanaman
nilai-nilai antikolonial dan antikapitalis. Antikolonial dengan pemahaman
ketertindasan kaum proletar dan antikapitalis karena tidak berorientasi pada
pendidikan kaum bermodal yang hanya menjadikan peserta didik sebagai sekrup-sekrup
industri, tapi juga pengembangan pada ekonomi rakyat seperti pembentukan
koperasi.
Praktik
pendidikan Tan Malaka bisa disebut sebagai pedagogik transformatif, yakni
proses memanusiakan manusia untuk dapat membentuk masyarakat baru dan
pengetahuan baru yang diciptakan oleh keterlibatan mereka sendiri. Sekolah Tan
Malaka ini memposisikan agar peserta didiknya mempunyai kesadaran kelas sebagai
kelas tertindas. Setelah sadar kelas, diharapkan mereka akan dapat membongkar
tatanan atau relasi sosial yang tidak adil dan mengembalikan kemanusiaan
manusia.
Seperti
yang pernah diungkapkan oleh Tan Malaka, ”Jadi janganlah bimbang merampas
kemerdekaan bila kamu ingin menjadi murid dari Barat. Juga jangan dilupakan
bahwa kamu belum seorang murid, bahkan belum manusia bila tak ingin merdeka dan
bekerja sendiri.” Pedagogik transformatif menekankan pada refleksi atas segala
sesuatu hal yang ada di dalam maupun luar kelas alias realita. Alhasil,
pendidikan merupakan bagian dari proses transformasi sosial yang berarti berupa
kerja-kerja politik pembebasan. Pada konteks pendidikan Tan Malaka, sekolah SI
dan sistemnya menjadi instrumen pembebasan manusia Indonesia yang tertindas,
oleh kelas tertindas dan dalam konteks ketertindasannya. Pola pendidikan kritis
Tan Malaka mempunyai persamaan dengan Paulo Freire, di mana ia sangat
menghargai peserta didik untuk mengembangkan rumusan dan metode pendidikannya
sendiri. Tipe pendidikan seperti ini merupakan definisi pendidikan modern yang
menekankan bahwa pendidikan bukanlah kegiatan melainkan proses dan proses itu
terjadi karena interaksi atau dialogis.
Selain
itu, pendidikan kritis Freire dan transformatif Tan Malaka memihak kepada kaum
miskin dan kritis terhadap status quo. Pendidikan di Brasil yang dikritik oleh
Freire terlalu lama menjadi sarana propaganda yang membela dan menguatkan
struktur kekuasaan yang ada. Sedangkan Tan Malaka mengarahkan pada pendidikan
yang membangun kesadaran tentang masalah sosial dan perjuangan kelas, yakni
masalah penjajahan oleh kelompok tertentu (kolonial Belanda). Kendati begitu,
tetap saja ada perbedaan antara proses pendidikan Freire dengan Tan Malaka.
Jika Freire lebih menekankan pada pendidikan kaum dewasa dengan konsep
pemberantasan buta huruf sebagai awal penyadaran,
Tan
Malaka justru lebih mengarahkan pendidikannya pada anak-anak, dengan tujuan
anak-anak pribumi sadar akan ketertindasan bangsanya dan mempunyai kesadaran
kelas untuk melawan penjajahan. Konsep pendidikan Tan Malaka, bisa dibilang
mendahului pedagogik kritis Paulo Freire dan pendidikan partisipatorisnya Myles
Horton. Freire mematangkan konsep pendidikan kritisnya pada tahun 70 setelah
pengembaraan intelektualnya, Horton yang mulai bergerak melawan diskriminasi
ras di bawah nilai-nilai White Anglo Saxon Protestant (WASP) pada periode tahun
30-an, Tan Malaka pemikir dan salah seorang bapak bangsa kita, telah mendahului
keduanya dengan merintis pendidikan yang membebaskan sekaligus bercita-cita
membangun masyarakat Indonesia yang baru.
Ketidakberdayaan
di tingkat paling mendasar dari gagasan pembebasan secara tidak sadar diidap
setiap orang terpelajar kala itu, sehingga target utama adalah membebaskan
bangsa dari imperialisme secara struktural (sebagai sebuah negara) tanpa
mempersiapkan rakyat dengan basis kesadaran yang kuat, bermental merdeka, yang
mandiri dan punya gagasan pembebasan secara utuh. Tan Malaka, mencoba mengisi
kekosongan itu dengan berusaha mengikis pola dualisme ketertindasan yang
diciptakan oleh sekolah-sekolah kolonial. Sebagai sintesis dari sekolah
kolonial, Tan Malaka yang berdiri di garis SI Merah/PKI pun membentuk sekolah
tandingan bagi anak-anak aktivis SI maupun kaum kromo pada umumnya.
Bermodal
pengalamannya dan bekal pendidikan di dunia Barat, Tan yang telah mengendapkan
pemikirannya demi cita-cita pembebasan manusia Indonesia membangun sekolah yang
berpihak pada rakyat dan menjadikannya sarana yang paling efektif dalam
transformasi budaya. Bagi Tan, desain praktik pendidikannya mengarah pada
pembentukan manusia yang humanis, empatif, dan mampu mengembangkan pengetahuan
kritisnya sehingga manusia bergerak melawan dan keluar dari segala jeratan
praktik diskriminasi dan penindasan.
Setiap
20 Mei, bangsa ini memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Di setiap tanggal
itu, tokoh seperti dr. Sutomo, dr. Wahidin Sudirohusodo, dan para tokoh
pergerakan organisasi Budi Utomo diulas kembali. Budi Utomo adalah organisasi
pergerakan bersifat nasional yang pertama berdiri di Indonesia, walau pada
tahun-tahun awal pendiriannya nuansa Java-sentris masih sangat kental terlihat.
Budi
Utomo dianggap sebagai pelopor bagi era baru pergerakan perjuangan rakyat, dari
yang awalnya sporadis, bersifat kedaerahan dan mengandalkan aksi militer
menjadi lebih terorganisir, bersifat nasional dan mulai menggunakan pendidikan
serta diplomasi. Dengan alasan tersebut, Budi Utomo dianggap sebagai pembawa
angin perubahan dan penyebar benih kesadaran nasional bagi bangsa ini.
Tokoh
utama di balik pembentukan Budi Utomo adalah dr. Sutomo dan para mahasiswa
kedokteran asal kampus STOVIA. Setelah Budi Utomo berdiri, dalam waktu yang
tidak terlalu lama, berdirilah lusinan organisasi bersifat nasional lain yang
turut berjuang memancarkan cahaya pencerahan bagi rakyat untuk menuntut
kemerdekaannya.
Tokoh
lain yang sering dikaitkan dengan Hari Kebangkitan Nasional adalah Bung Karno,
Bung Hatta, Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara. Bung Karno adalah pendiri
sekaligus ketua Partai Nasional Indonesia. Partai beraliran nasionalis
marhaenis itu sejak awal memang didirikan untuk menghimpun kekuatan politik
guna mencapai Indonesia merdeka.
Sedang
Bung Hatta adalah tokoh Perhimpunan Indonesia, sebuah perkumpulan para pelajar
Indonesia yang belajar di Eropa. Dengan kegigihan serta keberaniannya, ia turut
menyemaikan rasa nasionalisme di kalangan rakyat. Jika Bung Karno dan Bung
Hatta lebih terkenal sebagai sosok politikus, maka Ki Hajar Dewantara lebih
dikenal karena perjuangannya di bidang pendidikan. Pendiri perguruan Taman
Siswa ini menumbuhkan rasa kebangsaan dan kesadaran nasional melalui lembaga
pendidikannya. Dari semua tokoh tersebut, yang unik adalah Douwes Dekker. Sinyo
Belanda ini memang terlahir sebagai seorang Belanda, tetapi jiwanya seratus
persen Indonesia. Wartawan dan tokoh politik kawakan ini sempat membuat
pemerintah Kolonial kebakaran jenggot lewat tulisannya yang berjudul “Bagaimana
cara yang paling cepat agar Belanda segera kehilangan tanah jajahannya”. Tetapi
sebenarnya, ada satu tokoh lagi yang sangat layak disandingkan dengan nama-nama
besar di atas. Sayangnya, karena kepentingan politik, nama tokoh ini bahkan
hampir tidak pernah disebutkan dalam teks-teks pelajaran sejarah di sekolah.
Tokoh ini tidak lain adalah Tan Malaka, si pacar merah. Nasionalis tulen. Membaca
kisah Tan Malaka sebenarnya lebih mirip membaca sosok petualang ala Indiana
Jones. Sosok yang misterius dan memiliki lusinan nama samaran ini adalah salah
satu buron nomor satu pemerintah Belanda. Ia telah berpetualang ke berbagai
tempat, mulai dari Moskow di Rusia hingga Banten. Di berbagai tempat, hanya
satu pemikirannya, menyemaikan benih perjuangan kepada bangsanya.
Lantas
siapakah sosok yang dalam kisah novel dijuluki sebagai pacar merah ini? Tan
Malaka sendiri lahir di Suliki, Sumatera Barat pada 2 Juni 1897. Ia lahir
dengan nama Sultan Ibrahim. Sejak muda sosok Tan Malaka memang dikenal sangat
cerdas, berani dan berjiwa petualang. Ia tidak hanya dikenal sebagai tokoh
politik, tetapi juga sebagai pendidik yang revolusioner, ahli strategi gerilya,
ekonom yang visoner dan penulis yang produktif. Tan Malaka adalah anak dari
pasangan Rasad Chaniago dan Sinah Simabur. Ia menghabiskan masa kecilnya di
lingkungan Islam Minangkabau yang kuat. Ia kemudian melanjutkan sekolahnya di
Kweekschool Bukittinggi (sekolah guru). Ia juga sempat mengenyam pendidikan di
Belanda, tepatnya di Rijks Kweekschool di kota Harleem. Sesudah tamat, Tan
Malaka kembali ke tanah air dan mengajar di daerah Deli, Sumatera Utara. Tempat
di mana Tan Malaka mengajar sangat dekat dengan wilayah perkebunan yang
dikelola Belanda. Pada saat itulah ia melihat dengan mata kepalanya sendiri
bagaimana menderitanya para petani yang ditindas oleh tuan tanah dan para
pengawas perkebunan milik kompeni tersebut.
Dari
situ, semangat juangnya terpanggil. Ia kemudian memutuskan untuk memulai aksi
perjuangannya melawan kolonialis Belanda yang sudah menimbulkan penderitaan
bagi rakyat. Pada tahun 1921 ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan para
anggota Sarekat Islam faksi komunis. Sarekat Islam faksi komunis inilah yang
kemudian berubah nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Kedekatannya
dengan tokoh PKI membuat gerak-geriknya masuk daftar pengawasan Belanda.
Maklum, PKI pada saat itu adalah organisasi yang paling keras melawan Belanda. Di
PKI, karirnya meningkat dengan pesat. Kemampuan orasi dan pemahaman Tan Malaka
yang luas di berbagai bidang membuatnya tidak kesulitan untuk meraih banyak
simpati atau pengikut. Ia juga aktif dalam berbagai kegiatan, di antaranya
pemogokan buruh kereta api, pendirian berbagai kursus kepemudaan dan
rapat-rapat umum. Tapi sayangnya, pada Januari 1922, ia kemudian ditangkap oleh
Belanda dan dibuang ke Kupang. Dua bulan kemudian ia dibebaskan tetapi diusir
dari Indonesia. Sejak saat itu petualangannya dimulai. Pertama-tama ia pergi ke
Berlin, Jerman. Di sana ia berusaha menjalin komunikasi dengan para tokoh
anti-imperialisme dari banyak negara. Kemudian ia diterima bekerja di
Komintern, sebuah federasi partai-partai komunis sedunia yang pada waktu itu
berada di bawah kendali Joseph Stalin, pemimpin tertinggi Uni Soviet. Sayangnya, banyak petinggi Komintern yang
kemudian memusuhinya. Ini karena perbedaan pandangan antara Tan Malaka dan para
petinggi Komintern lain. Mayoritas tokoh Komintern menilai gerakan Islam
sebagai penghalang dan juga sisa-sisa feodalisme yang harus dibasmi, sedang Tan
Malaka sangat tidak setuju. Ia bahkan menilai gerakan Islam sebagai kawan
seperjuangan untuk memusnahkan kapitalisme dan kolonialisme. Atas perbedaan
itulah ia kemudian dipecat dari Komintern. Selanjutnya ia menjadi buronan,
tidak hanya oleh para polisi Belanda, tetapi juga kaki tangan Komintern. Tan
kemudian berpindah dari satu negeri ke negeri lain dengan lusinan nama samaran.
Ia pernah menjadi pengajar di Shanghai, Cina. kemudian menjadi pengawas sekolah
di Singapura. Ia juga turut andil dalam mendirikan partai komunis Filipina.
Hampir setiap hari ia hidup dalam bayang-bayang penangkapan. Tetapi karena Tan
Malaka seorang yang cerdas dan berani, Ia selalu dapat meloloskan diri. Setelah
dua puluh tahun berkelana (menurut kisahnya dalam pendahuluan di buku berjudul
Madilog), ia kembali ke Indonesia. Di sini, ia kemudian mengorganisir para
pejuang serta memberikan berbagai taktik dan strategi politik yang berguna
untuk mengenyahkan Belanda dari bumi pertiwi.
Penulis
yang produktif Walau hidup dalam pelarian, ternyata di benak Tan Malaka selalu
teringat nasib bangsanya. Itu dibuktikannya melalui berbagai buku yang ia
tulis. Buku-bukunya sangat berkelas dan tak lekang oleh waktu. Semua karya
tulisnya menyiratkan bahwa selain sebagai seorang nasionalis tulen, ia adalah
seorang penulis produktif. Banyak dari karyanya kini diterjemahkan dalam
berbagai bahasa dan dibaca beragam kalangan, mulai dari para sarjana asing
hingga aktivis kampus. Karya-karya besar dari putra Minang ini antara lain:
Menuju Indonesia Merdeka (Naar de Republiek Indonesia), Aksi Massa, Semangat
Muda dan yang paling fenomenal, Madilog (Materia-Dialektika-Logika).
Madilog
adalah karya Tan Malaka yang paling terkenal. Di dalamnya, Tan Malaka
memberikan warisannya yang paling berharga bagi rakyat Indonesia, yakni cara
berpikir yang logis dan mengenyahkan cara berpikir yang berdasarkan takhayul
belaka. Madilog pun dicetak dalam berbagai bahasa di dunia dan dipajang di
berbagai toko buku besar maupun perpustakaan megah di seluruh dunia, walau di
Indonesia hanya membusuk di koridor usang di lapak penjual buku bekas.
Tidak
dapat dipungkiri bahwa Tan Malaka memiliki kedekatan dengan komunisme, walau
begitu banyak pula yang meyakini ia hanya seorang muslim taat yang bersimpati
dengan ajaran komunis, tanpa menjadi komunis. Bahkan kabarnya, ketika terjadi
pemberontakan komunis di Madiun pada tahun 1948, Tan Malaka yang saat itu
berada di penjara, sengaja dikeluarkan untuk menghadapi pasukan PKI pimpinan
Musso.
Jika
ditilik, sudah banyak jasa yang diberikan oleh Tan Malaka bagi republik ini. Ia
sering tampil di barisan paling depan dalam berbagai aksi rakyat. Ia juga turut
menyemaikan kesadaran nasional yang kemudian membuahkan kebangkitan semangat
perjuangan rakyat Indonesia. Mantan guru ini juga adalah idola bagi banyak
tokoh bangsa saat itu, termasuk Bung Karno.
Tan
Malaka sendiri kemudian hilang tak tentu rimbanya. Menurut Pozie, salah satu
ahli sejarah asal Belanda, Tan Malaka dan pasukannya dieksekusi mati oleh
sepasukan tentara di bawah komando Letda Soekotjo pada 21 Februari 1949 di
Kediri. Hanya tanah dan langit yang berkabung atas tewasnya salah seorang bapak
bangsa tersebut.
Menurut
Keputusan Presiden No 53 Tahun 1969, Tan Malaka ditetapkan oleh Bung Karno
sebagai salah satu pahlawan kemerdekaan nasional. Tetapi di era Soeharto,
namanya dikubur dalam-dalam, bahkan Madilog serta karya-karyanya yang lain
dibakar oleh kaki tangan orde baru. Orde baru memang sangat alergi terhadap
segala hal yang berkaitan dengan komunisme. Itulah akhir nasib Tan Malaka,
pembangkit nasionalisme, yang kemudian terhapus jejaknya di buku sejarah
bangsanya sendiri, bangsa yang ia perjuangkan untuk merdeka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar