Minggu, 27 Oktober 2013

Tan Malaka

Siapa Tan Malaka?
Selama ini Tan Malaka hanya dikenal sebagai seorang pemikir politik. Padahal seperti yang dikatakan oleh Sosiolog Robertus Robet, sebagai seorang pemikir Tan Malaka mempunyai banyak sumbangan di segala bidang, salah satunya bidang pendidikan. Namun sumbangan pemikiran Tan Malaka di bidang pendidikan tidak pernah diulas karena banyak peneliti yang hanya fokus pada pemikiran politiknya.
Bagi Tan Malaka, pengusiran penjajah dari bumi pertiwi belum menyelesaikan problem bangsa Indonesia. Ada hal lain, yang bagi Tan Malaka sangat krusial untuk segera dituntaskan, yakni feodalisme dari cara berpikir manusia Indonesia. Oleh karena itu Tan Malaka yang merupakan lulusan guru dari Belanda, mendirikan sekolah rakyat sebagai antitesis dari sekolah kolonial Belanda yang menindas.
Tan Malaka mendirikan sekolah rakyat dengan nama S.I School atau Sekolah Serikat Islam. Sekolah ini ditujukan kepada seluruh lapisan masyarakat, khususnya bagi anak-anak pengurus dan aktivis Serikat Islam serta anak-anak kaum kromo. Belakangan, sekolah ini lebih dikenal dengan nama Sekolah Tan Malaka.
Tan Malaka dan Semaun (Pimpinan PKI pertama) berharap, sekolah yang mereka dirikan ini bertujuan untuk menyiapkan calon-calon pemimpin revolusioner masa depan dengan praktik pendidikan antikolonial. Orang Indonesia harus belajar sebagai murid yang cerdas, harus bertindak dan berpikir secara rasional.
Awal-awal pendirian sekolah, meskipun terseok-seok karena biaya yang minim dan mengandalkan pada derma-derma dari masyarakat dan kerabatnya, sekolah SI tetap berjalan dengan baik. Bahkan, dalam jangka beberapa bulan saja, Tan Malaka sudah mendirikan cabang sekolah SI di Salatiga dan Bandung. Meskipun sekolahnya serba kekurangan, yang menjadi andalan sekolah SI Tan Malaka ialah kebebasan anak-anak kromo untuk bersekolah dan kultur sekolah yang dekat dengan sifat serta semangat ketimuran dibandingkan sekolah-sekolah bentukan kolonial.
Meskipun begitu, Tan Malaka tak melupakan bagaimana prinsip-prinsip yang diajarkan di sekolah-sekolah Barat, yakni kecakapan untuk hidup di dunia yang semakin maju seperti pelajaran berhitung, membaca, menulis, ilmu bumi, bahasa Belanda. Menariknya, di sekolah ini meskipun diajarkan dengan bermacam-macam pelajaran, guru-gurunya memusingkan soal metode bagaimana harus mengajar. Setiap murid dibebaskan untuk mencari dan menggunakan metodenya sendiri dalam mengikuti pelajaran. Keputusan Tan Malaka dalam membebaskan murid-murid serta guru perihal metode, dikarenakan kepercayaan mereka terhadap kemampuan murid. Murid bukanlah kertas kosong yang harus dijejali dengan beragam rumus dan metode penyelesaian masalah, tapi dia harus mengembangkan sendiri rumusannya. Bagi Tan Malaka, beragam metode akan membuat guru mabuk metode mengajar.
Karena itu, Tan Malaka dalam menjalankan program sekolahnya hanyalah menekankan tiga hal, yakni memberi jalan bagi anak-anak untuk mempunyai bekal mata pencaharian, memberi hak bagi murid untuk menjalani hobi atau kegemarannya dengan wadah suatu perkumpulan dan terakhir, mengarahkan perhatian kepada murid kalau nantinya mereka punya pertanggungjawaban terhadap jutaan keluarga kromo.
Tiga pokok pikiran pendidikan Tan Malaka mempunyai dimensi yang sangat humanis. Ia menyadari, di dunia kapitalistik yang semakin maju tiap anak manusia harus mempunyai kecakapan atau skill untuk dapat bertahan hidup. Tapi selanjutnya, Tan juga tak mau mengabaikan dimensi lain dari anak-anak yang dalam usia belianya perlu bermain dan bergaul. Ini dimaksudkan agar mereka sudah mendapatkan kebahagiaannya di periode itu dan berdasarkan pada pemahaman manusia sebagai makhluk sosial. Sedangkan untuk kepedulian terhadap kaum kromo atau proletar, ini bisa dikaitkan dengan tanggung jawab intelektual mereka sebagai kaum terpelajar yang sedang dipraktikkan oleh para bapak bangsa, seperti Tan Malaka, Soekarno, Hatta, Sjahrir dan yang lainnya. Hal yang terakhir menjadi bagian penting dalam pandangan pendidikan Tan Malaka.
Dalam setiap rapat-rapat umum SI, murid-murid dari sekolah Tan Malaka pasti selalu datang dan dilibatkan. Mereka langsung bersentuhan dengan realita ketertindasan kaumnya, dan melihat bagaimana setiap rencana perjuangan dirumuskan. Harapannya, ketika dewasa, sikap memihak terhadap kaum proletar sudah menjadi bagian dari hidup mereka. Dimensi ini dapat dilihat sebagai upaya penanaman nilai-nilai antikolonial dan antikapitalis. Antikolonial dengan pemahaman ketertindasan kaum proletar dan antikapitalis karena tidak berorientasi pada pendidikan kaum bermodal yang hanya menjadikan peserta didik sebagai sekrup-sekrup industri, tapi juga pengembangan pada ekonomi rakyat seperti pembentukan koperasi.
Praktik pendidikan Tan Malaka bisa disebut sebagai pedagogik transformatif, yakni proses memanusiakan manusia untuk dapat membentuk masyarakat baru dan pengetahuan baru yang diciptakan oleh keterlibatan mereka sendiri. Sekolah Tan Malaka ini memposisikan agar peserta didiknya mempunyai kesadaran kelas sebagai kelas tertindas. Setelah sadar kelas, diharapkan mereka akan dapat membongkar tatanan atau relasi sosial yang tidak adil dan mengembalikan kemanusiaan manusia.
Seperti yang pernah diungkapkan oleh Tan Malaka, ”Jadi janganlah bimbang merampas kemerdekaan bila kamu ingin menjadi murid dari Barat. Juga jangan dilupakan bahwa kamu belum seorang murid, bahkan belum manusia bila tak ingin merdeka dan bekerja sendiri.” Pedagogik transformatif menekankan pada refleksi atas segala sesuatu hal yang ada di dalam maupun luar kelas alias realita. Alhasil, pendidikan merupakan bagian dari proses transformasi sosial yang berarti berupa kerja-kerja politik pembebasan. Pada konteks pendidikan Tan Malaka, sekolah SI dan sistemnya menjadi instrumen pembebasan manusia Indonesia yang tertindas, oleh kelas tertindas dan dalam konteks ketertindasannya. Pola pendidikan kritis Tan Malaka mempunyai persamaan dengan Paulo Freire, di mana ia sangat menghargai peserta didik untuk mengembangkan rumusan dan metode pendidikannya sendiri. Tipe pendidikan seperti ini merupakan definisi pendidikan modern yang menekankan bahwa pendidikan bukanlah kegiatan melainkan proses dan proses itu terjadi karena interaksi atau dialogis.
Selain itu, pendidikan kritis Freire dan transformatif Tan Malaka memihak kepada kaum miskin dan kritis terhadap status quo. Pendidikan di Brasil yang dikritik oleh Freire terlalu lama menjadi sarana propaganda yang membela dan menguatkan struktur kekuasaan yang ada. Sedangkan Tan Malaka mengarahkan pada pendidikan yang membangun kesadaran tentang masalah sosial dan perjuangan kelas, yakni masalah penjajahan oleh kelompok tertentu (kolonial Belanda). Kendati begitu, tetap saja ada perbedaan antara proses pendidikan Freire dengan Tan Malaka. Jika Freire lebih menekankan pada pendidikan kaum dewasa dengan konsep pemberantasan buta huruf sebagai awal penyadaran,
Tan Malaka justru lebih mengarahkan pendidikannya pada anak-anak, dengan tujuan anak-anak pribumi sadar akan ketertindasan bangsanya dan mempunyai kesadaran kelas untuk melawan penjajahan. Konsep pendidikan Tan Malaka, bisa dibilang mendahului pedagogik kritis Paulo Freire dan pendidikan partisipatorisnya Myles Horton. Freire mematangkan konsep pendidikan kritisnya pada tahun 70 setelah pengembaraan intelektualnya, Horton yang mulai bergerak melawan diskriminasi ras di bawah nilai-nilai White Anglo Saxon Protestant (WASP) pada periode tahun 30-an, Tan Malaka pemikir dan salah seorang bapak bangsa kita, telah mendahului keduanya dengan merintis pendidikan yang membebaskan sekaligus bercita-cita membangun masyarakat Indonesia yang baru.
Ketidakberdayaan di tingkat paling mendasar dari gagasan pembebasan secara tidak sadar diidap setiap orang terpelajar kala itu, sehingga target utama adalah membebaskan bangsa dari imperialisme secara struktural (sebagai sebuah negara) tanpa mempersiapkan rakyat dengan basis kesadaran yang kuat, bermental merdeka, yang mandiri dan punya gagasan pembebasan secara utuh. Tan Malaka, mencoba mengisi kekosongan itu dengan berusaha mengikis pola dualisme ketertindasan yang diciptakan oleh sekolah-sekolah kolonial. Sebagai sintesis dari sekolah kolonial, Tan Malaka yang berdiri di garis SI Merah/PKI pun membentuk sekolah tandingan bagi anak-anak aktivis SI maupun kaum kromo pada umumnya.
Bermodal pengalamannya dan bekal pendidikan di dunia Barat, Tan yang telah mengendapkan pemikirannya demi cita-cita pembebasan manusia Indonesia membangun sekolah yang berpihak pada rakyat dan menjadikannya sarana yang paling efektif dalam transformasi budaya. Bagi Tan, desain praktik pendidikannya mengarah pada pembentukan manusia yang humanis, empatif, dan mampu mengembangkan pengetahuan kritisnya sehingga manusia bergerak melawan dan keluar dari segala jeratan praktik diskriminasi dan penindasan.
Setiap 20 Mei, bangsa ini memperingati Hari Kebangkitan Nasional. Di setiap tanggal itu, tokoh seperti dr. Sutomo, dr. Wahidin Sudirohusodo, dan para tokoh pergerakan organisasi Budi Utomo diulas kembali. Budi Utomo adalah organisasi pergerakan bersifat nasional yang pertama berdiri di Indonesia, walau pada tahun-tahun awal pendiriannya nuansa Java-sentris masih sangat kental terlihat.
Budi Utomo dianggap sebagai pelopor bagi era baru pergerakan perjuangan rakyat, dari yang awalnya sporadis, bersifat kedaerahan dan mengandalkan aksi militer menjadi lebih terorganisir, bersifat nasional dan mulai menggunakan pendidikan serta diplomasi. Dengan alasan tersebut, Budi Utomo dianggap sebagai pembawa angin perubahan dan penyebar benih kesadaran nasional bagi bangsa ini.
Tokoh utama di balik pembentukan Budi Utomo adalah dr. Sutomo dan para mahasiswa kedokteran asal kampus STOVIA. Setelah Budi Utomo berdiri, dalam waktu yang tidak terlalu lama, berdirilah lusinan organisasi bersifat nasional lain yang turut berjuang memancarkan cahaya pencerahan bagi rakyat untuk menuntut kemerdekaannya.
Tokoh lain yang sering dikaitkan dengan Hari Kebangkitan Nasional adalah Bung Karno, Bung Hatta, Douwes Dekker dan Ki Hajar Dewantara. Bung Karno adalah pendiri sekaligus ketua Partai Nasional Indonesia. Partai beraliran nasionalis marhaenis itu sejak awal memang didirikan untuk menghimpun kekuatan politik guna mencapai Indonesia merdeka.
Sedang Bung Hatta adalah tokoh Perhimpunan Indonesia, sebuah perkumpulan para pelajar Indonesia yang belajar di Eropa. Dengan kegigihan serta keberaniannya, ia turut menyemaikan rasa nasionalisme di kalangan rakyat. Jika Bung Karno dan Bung Hatta lebih terkenal sebagai sosok politikus, maka Ki Hajar Dewantara lebih dikenal karena perjuangannya di bidang pendidikan. Pendiri perguruan Taman Siswa ini menumbuhkan rasa kebangsaan dan kesadaran nasional melalui lembaga pendidikannya. Dari semua tokoh tersebut, yang unik adalah Douwes Dekker. Sinyo Belanda ini memang terlahir sebagai seorang Belanda, tetapi jiwanya seratus persen Indonesia. Wartawan dan tokoh politik kawakan ini sempat membuat pemerintah Kolonial kebakaran jenggot lewat tulisannya yang berjudul “Bagaimana cara yang paling cepat agar Belanda segera kehilangan tanah jajahannya”. Tetapi sebenarnya, ada satu tokoh lagi yang sangat layak disandingkan dengan nama-nama besar di atas. Sayangnya, karena kepentingan politik, nama tokoh ini bahkan hampir tidak pernah disebutkan dalam teks-teks pelajaran sejarah di sekolah. Tokoh ini tidak lain adalah Tan Malaka, si pacar merah. Nasionalis tulen. Membaca kisah Tan Malaka sebenarnya lebih mirip membaca sosok petualang ala Indiana Jones. Sosok yang misterius dan memiliki lusinan nama samaran ini adalah salah satu buron nomor satu pemerintah Belanda. Ia telah berpetualang ke berbagai tempat, mulai dari Moskow di Rusia hingga Banten. Di berbagai tempat, hanya satu pemikirannya, menyemaikan benih perjuangan kepada bangsanya.
Lantas siapakah sosok yang dalam kisah novel dijuluki sebagai pacar merah ini? Tan Malaka sendiri lahir di Suliki, Sumatera Barat pada 2 Juni 1897. Ia lahir dengan nama Sultan Ibrahim. Sejak muda sosok Tan Malaka memang dikenal sangat cerdas, berani dan berjiwa petualang. Ia tidak hanya dikenal sebagai tokoh politik, tetapi juga sebagai pendidik yang revolusioner, ahli strategi gerilya, ekonom yang visoner dan penulis yang produktif. Tan Malaka adalah anak dari pasangan Rasad Chaniago dan Sinah Simabur. Ia menghabiskan masa kecilnya di lingkungan Islam Minangkabau yang kuat. Ia kemudian melanjutkan sekolahnya di Kweekschool Bukittinggi (sekolah guru). Ia juga sempat mengenyam pendidikan di Belanda, tepatnya di Rijks Kweekschool di kota Harleem. Sesudah tamat, Tan Malaka kembali ke tanah air dan mengajar di daerah Deli, Sumatera Utara. Tempat di mana Tan Malaka mengajar sangat dekat dengan wilayah perkebunan yang dikelola Belanda. Pada saat itulah ia melihat dengan mata kepalanya sendiri bagaimana menderitanya para petani yang ditindas oleh tuan tanah dan para pengawas perkebunan milik kompeni tersebut.
Dari situ, semangat juangnya terpanggil. Ia kemudian memutuskan untuk memulai aksi perjuangannya melawan kolonialis Belanda yang sudah menimbulkan penderitaan bagi rakyat. Pada tahun 1921 ia pergi ke Semarang dan bertemu dengan para anggota Sarekat Islam faksi komunis. Sarekat Islam faksi komunis inilah yang kemudian berubah nama menjadi Partai Komunis Indonesia (PKI). Kedekatannya dengan tokoh PKI membuat gerak-geriknya masuk daftar pengawasan Belanda. Maklum, PKI pada saat itu adalah organisasi yang paling keras melawan Belanda. Di PKI, karirnya meningkat dengan pesat. Kemampuan orasi dan pemahaman Tan Malaka yang luas di berbagai bidang membuatnya tidak kesulitan untuk meraih banyak simpati atau pengikut. Ia juga aktif dalam berbagai kegiatan, di antaranya pemogokan buruh kereta api, pendirian berbagai kursus kepemudaan dan rapat-rapat umum. Tapi sayangnya, pada Januari 1922, ia kemudian ditangkap oleh Belanda dan dibuang ke Kupang. Dua bulan kemudian ia dibebaskan tetapi diusir dari Indonesia. Sejak saat itu petualangannya dimulai. Pertama-tama ia pergi ke Berlin, Jerman. Di sana ia berusaha menjalin komunikasi dengan para tokoh anti-imperialisme dari banyak negara. Kemudian ia diterima bekerja di Komintern, sebuah federasi partai-partai komunis sedunia yang pada waktu itu berada di bawah kendali Joseph Stalin, pemimpin tertinggi Uni Soviet.  Sayangnya, banyak petinggi Komintern yang kemudian memusuhinya. Ini karena perbedaan pandangan antara Tan Malaka dan para petinggi Komintern lain. Mayoritas tokoh Komintern menilai gerakan Islam sebagai penghalang dan juga sisa-sisa feodalisme yang harus dibasmi, sedang Tan Malaka sangat tidak setuju. Ia bahkan menilai gerakan Islam sebagai kawan seperjuangan untuk memusnahkan kapitalisme dan kolonialisme. Atas perbedaan itulah ia kemudian dipecat dari Komintern. Selanjutnya ia menjadi buronan, tidak hanya oleh para polisi Belanda, tetapi juga kaki tangan Komintern. Tan kemudian berpindah dari satu negeri ke negeri lain dengan lusinan nama samaran. Ia pernah menjadi pengajar di Shanghai, Cina. kemudian menjadi pengawas sekolah di Singapura. Ia juga turut andil dalam mendirikan partai komunis Filipina. Hampir setiap hari ia hidup dalam bayang-bayang penangkapan. Tetapi karena Tan Malaka seorang yang cerdas dan berani, Ia selalu dapat meloloskan diri. Setelah dua puluh tahun berkelana (menurut kisahnya dalam pendahuluan di buku berjudul Madilog), ia kembali ke Indonesia. Di sini, ia kemudian mengorganisir para pejuang serta memberikan berbagai taktik dan strategi politik yang berguna untuk mengenyahkan Belanda dari bumi pertiwi.
Penulis yang produktif Walau hidup dalam pelarian, ternyata di benak Tan Malaka selalu teringat nasib bangsanya. Itu dibuktikannya melalui berbagai buku yang ia tulis. Buku-bukunya sangat berkelas dan tak lekang oleh waktu. Semua karya tulisnya menyiratkan bahwa selain sebagai seorang nasionalis tulen, ia adalah seorang penulis produktif. Banyak dari karyanya kini diterjemahkan dalam berbagai bahasa dan dibaca beragam kalangan, mulai dari para sarjana asing hingga aktivis kampus. Karya-karya besar dari putra Minang ini antara lain: Menuju Indonesia Merdeka (Naar de Republiek Indonesia), Aksi Massa, Semangat Muda dan yang paling fenomenal, Madilog (Materia-Dialektika-Logika).
Madilog adalah karya Tan Malaka yang paling terkenal. Di dalamnya, Tan Malaka memberikan warisannya yang paling berharga bagi rakyat Indonesia, yakni cara berpikir yang logis dan mengenyahkan cara berpikir yang berdasarkan takhayul belaka. Madilog pun dicetak dalam berbagai bahasa di dunia dan dipajang di berbagai toko buku besar maupun perpustakaan megah di seluruh dunia, walau di Indonesia hanya membusuk di koridor usang di lapak penjual buku bekas.
Tidak dapat dipungkiri bahwa Tan Malaka memiliki kedekatan dengan komunisme, walau begitu banyak pula yang meyakini ia hanya seorang muslim taat yang bersimpati dengan ajaran komunis, tanpa menjadi komunis. Bahkan kabarnya, ketika terjadi pemberontakan komunis di Madiun pada tahun 1948, Tan Malaka yang saat itu berada di penjara, sengaja dikeluarkan untuk menghadapi pasukan PKI pimpinan Musso.
Jika ditilik, sudah banyak jasa yang diberikan oleh Tan Malaka bagi republik ini. Ia sering tampil di barisan paling depan dalam berbagai aksi rakyat. Ia juga turut menyemaikan kesadaran nasional yang kemudian membuahkan kebangkitan semangat perjuangan rakyat Indonesia. Mantan guru ini juga adalah idola bagi banyak tokoh bangsa saat itu, termasuk Bung Karno.
Tan Malaka sendiri kemudian hilang tak tentu rimbanya. Menurut Pozie, salah satu ahli sejarah asal Belanda, Tan Malaka dan pasukannya dieksekusi mati oleh sepasukan tentara di bawah komando Letda Soekotjo pada 21 Februari 1949 di Kediri. Hanya tanah dan langit yang berkabung atas tewasnya salah seorang bapak bangsa tersebut.

Menurut Keputusan Presiden No 53 Tahun 1969, Tan Malaka ditetapkan oleh Bung Karno sebagai salah satu pahlawan kemerdekaan nasional. Tetapi di era Soeharto, namanya dikubur dalam-dalam, bahkan Madilog serta karya-karyanya yang lain dibakar oleh kaki tangan orde baru. Orde baru memang sangat alergi terhadap segala hal yang berkaitan dengan komunisme. Itulah akhir nasib Tan Malaka, pembangkit nasionalisme, yang kemudian terhapus jejaknya di buku sejarah bangsanya sendiri, bangsa yang ia perjuangkan untuk merdeka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar